"Kau sudah berubah banyak ya." Ujar Edmund siang itu sambil menyetir mobilnya. "Terlalu banyak, sampai tidak mengenaliku."
"Pardon me?" Tanya Reyna. Ia mengusap pelan perutnya yang lapar dengan kedua tangan. Hatinya berharap apapun tempat makan yang mereka tuju, letaknya tidak jauh dari sini.
"Kita bertemu di bandara waktu itu. Dan kau tidak mengenaliku." Kali ini kalimat itu diucapkan dengan nada sedikit kecewa. Reyna hanya tersenyum tapi tidak menanggapi.Edmund memutar lagu jazz yang mengalun lembut. Membuat Reyna mulai mengantuk sambil mencoba fokus menatap langit yang sudah mulai berwarna gelap, seperti akan turun hujan. Dan akhirnya semakin gelap. Semuanya berjalan begitu lambat seperti satu kali kedipan mata. Begitu matanya terbuka, ia sadar telah tertidur untuk sesaat. Mobil mereka sudah terpakir di pinggir jalan yang belum dikenalnya.
Reyna mendapati sebuah topi berwarna hitam di pangkuannya. Juga secarik kertas.
Use me.
Edmund sudah tidak ada di dalam mobil. Setelah memakai topi, mata Reyna mulai mencari ke sekeliling. Di depan ada sebuah cafe kecil dengan teras yang dipasangi penutup tirai bambu dengan hiasan bunga.
"Is he in there? Screw it, I'm starving." Ujar Reyna. Perutnya berbunyi sekali lagi. Ia keluar dan berjalan dengan langkah mantap menuju cafe itu. Ia memang belum menukar semua uangnya dengan USD seperti yang diperintahkan ibunya, tapi setidaknya menurut perhitungan Reyna, jumlah Dollar yang ia pegang sekarang masih akan cukup untuk makan sehari-hari.
Dugaannya benar. Edmund sedang duduk santai di salah satu kursi yang ada di teras cafe. Ia membaca koran dan ada secangkir kopi hangat di depannya.
"Kenapa engga bangunin?" Sapa Reyna sambil menarik kursi.
"Kau tidur seperti kuda. Perlu bom nuklir untuk membangunkanmu." Jawab Edmund. Ia melipat korannya dan memanggil seorang pelayan."So, you didn't tell me about all of this." Ujar Edmund setelah selesai makan.
"You didn't pick me up at the airport." Balas Reyna sambil berusaha menghabiskan sisa pasta di piringnya. Matanya melirik piring salad yang masih belum tersentuh dan tampak begitu menggiurkan. Dalam hati ia merasa heran. Ia belum pernah makan sebanyak ini. Entah karena lapar atau merasa gugup.Wait, but I didn't do anything wrong. Why do I have to be nervous?
"Kau bahkan tidak mengenaliku." Balas Edmund tak mau kalah. Ia menarik piring salad itu ke arahnya dengan senyum jahil.
Si rese ini...hhh...sabar Rey...he's your big boss now...sabar...
"Mr. Hall, kita sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu. Ditambah lagi kau memakai kacamata hitam waktu mendatangiku di airport. Dan gaya rambutmu..." ucap Reyna dengan nada jengkel, tapi kemudian terputus. Ia baru tersadar, hari itu Edmund memang tampak seperti orang lain karena gaya rambutnya yang sangat berbeda. Hari ini ia tampak sangat rapi, lain dengan waktu itu.
"Ah! Aku lupa! Ternyata karena itu." Jawab Edmund. Kali ini ia benar-benar menggunakan bahasa Indonesia dengan logat yang sungguh aneh. Pria itu tertawa ringan. Di depannya Reyna hanya geleng-geleng kepala sambil menarik kembali piring salad dari tangan Edmund dan mulai memakan isinya dengan garpu."Let's go. I have to go back." Ajak Reyna setelah selesai makan. Ia mengeluarkan dompet dari dalam tasnya.
"What are you doing?" Tanya Edmund sambil tersenyum.
"Paying the bill, why?" Jawab Reyna heran. Di depannya Edmund tertawa seraya bangkit berdiri. Di luar dugaan, ia mendekat dan menunduk untuk mencium ringan kepala Reyna.
"Good girl, but what do you take me for?""Kemarin tinggal di mana?" Tanya Edmund setelah keduanya kembali ke dalam mobil. Dalam hati ia merasa sedikit bersalah.
"Teman SMA. Sekarang lagi ambil S2 di sini. Tadi pagi dia yang antar. Nanti sore juga katanya dia mau jemput."
"Give me his number. Minta ia mengirimkan alamat lengkapnya ke nomor itu." Perintah Edmund sambil menyodorkan handphone-nya pada Reyna.
"Why?"
"We're taking your stuff out of there. You're staying with me." Jawab Edmund santai. Di sebelahnya wajah Reyna langsung berubah panik. Ia memang belum memikirkan matang-matang soal skenario akan tinggal di mana. Jujur ia sudah menduga Edmund tidak akan diam saja melihatnya menumpang di tempat orang lain. Hanya saja...Sementara menunggu balasan dari Chris, sebuah panggilan masuk ke hp Edmund. Ia menekan tombol jawab panggilan di dekat kemudi mobil.
"Yes, Elda?" Sapa Edmund.
"Sir, everything is ready."
"Okay, thank you.""Let me guess, I'm not going back to the office?" Tebak Reyna semakin panik.
"Of course you're not."
"Stop the car."
"What? Why?" Tanya Edmund kaget. Reyna tidak menjawab. Wajahnya berubah menjadi sangat serius. Mau tidak mau Edmund membawa mobilnya berhenti di pinggir jalan."This is the main reason why I didn't tell you about working here. I don't want anybody in your company thinking that I'm just a lucky bitch who gets in through some low class nepotism." Ujar Reyna sambil memutar duduknya ke arah Edmund begitu mobil berhenti. Untuk beberapa saat tidak ada jawaban. Ia mulai salah tingkah karena di tatap dengan begitu serius. Sebelah tangannya melambai-lambai di depan wajah Edmund.
"Mr. Hall?" Panggil Reyna.
"Fine. How about this, I take you back to the office, and I'll handle the rest of it."
"Okay." Jawab Reyna. "Oh ya, satu hal lagi. Kau harus mulai terbiasa mendengarku berbicara dengan bahasa formal." Sekali lagi tidak ada jawaban.Tak sampai setengah jam kemudian, keduanya telah sampai di depan lift yang membawa mereka naik kembali ke ruangan Edmund. Reyna melepas topi dan mantelnya.
"Thanks for lunch, Sir. I have to go." Ujar Reyna. Di depannya Edmund tersenyum geli sambil menaikkan kedua alisnya.
"Not that fast. Come here." Panggil Edmund. Ia mendorong bahu Reyna agar duduk di depan meja kerjanya. Setelah itu ia berjalan memutar dan mengambil sesuatu dari dalam brankas kecil di dalam laci."This is your card. Use this, I insist. Real New Yorkers don't hang around with cash. It's just simply too dangerous." Ujar Edmund sambil mengeluarkan sebuah Black Card dan memasukkannya ke dalam sebuah card holder yang terbuat dari kulit berwarna hitam. "And this, is for that door." Lanjutnya sambil menunjukkan kartu lain berwarna coklat tua dan menunjuk pintu masuk ke ruangannya. Setelah itu ia menuliskan sesuatu di dalam kertas kecil.
531774
"The apartment's code." Setelah selesai, Edmund menyerahkan dua kartu dan secarik kertas itu pada Reyna yang kini menatapnya dengan pandangan tanpa ekspresi.
Percuma ngomong sama kepala batu...
"Fine. Would that be all, Mr. Hall?" Tanya Reyna.
"Yes. Have a nice afternoon, Miss. See you at home." Balas Edmund sambil tersenyum.Edmund masih duduk diam di kursinya sambil menatap lurus ke arah pintu setelah Reyna keluar. Tak lama kemudian Shawn masuk.
"Sir? She is..."
"She is..., complicated." Jawab Edmund dengan tatapan menerawang.
"She told me that too, Sir." Balas Shawn sambil tersenyum mengingat percakapannya dengan Reyna."What can I help you with, Sir?" Tanya Shawn lagi.
"Tell them. Don't touch her."
"Them?"
"Yes. All of them."
"Sir, I don't think that's a good idea."
"Yeah, me too." Jawab Edmund bingung. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "You have any better idea?" Tanyanya pada Shawn. Ia merasa serba salah.Bali dan New York adalah dua tempat yang sangat bertolak belakang. Reyna tidak akan bisa bertahan begitu saja tanpa adanya backup di kota yang penuh dengan serigala lapar ini. Bahkan di dalam gedung milik Edmund sendiri. Ribuan orang haus jabatan di gedung ini akan rela bertarung setiap menitnya, untuk bisa memiliki relasi yang baru saja tadi ditolak mentah-mentah oleh gadis kecil yang kini sudah berubah jadi wanita dewasa itu.
"I'll keep her save under my sight. How about that, Sir?" Tanya Shawn dengan nada menenangkan. Ia sudah selesai mengumpulkan informasi tentang Clareyna siang ini, dan memutuskan untuk tidak banyak bertanya. Edmund menatapnya beberapa saat. Otaknya setuju dengan Shawn. Namun hatinya menentang.
"Nope. It won't work. Tell them, don't touch her. She's mine." Jawab Edmund tegas. Ia bisa mempercayakan apapun pada para asistennya, terlebih lagi pada Shawn. Tapi tidak untuk yang satu ini. Ia berdiri dan berjalan masuk ke dalam lift. "I'm heading out. Thank you for today, Shawn."
"As you wish, Sir." Jawab Shawn dengan senyum hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dawn (On Going)
Roman d'amourEdmund Hall (Ed), 26 tahun, sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia meninggalkan New York dan mencoba memulai semuanya dari awal di Bali, di rumah ibunya, wanita berdarah Indonesia yang berprofesi sebagai pengajar tari. Di sana Edmund men...