Pagi itu Reyna bersantai di halaman rumah. Ditemani secangkir teh panas dan sebuah buku catatan. Ia sedang membaca kembali perlengkapan yang harus dibawanya saat hari pertama masuk SMA nanti.
Beberapa hari lalu, gadis remaja itu baru saja mendapat surat yang memberitahukan kalau ia diterima di SMA Negeri yang terbaik di Bali. Sekitar tiga minggu dari sekarang, ia akan mengganti seragam putih-biru miliknya menjadi putih-abu. Namun sejujurnya bukan itu yang menyita pikirannya belakangan ini. Reyna justru lebih memikirkan tentang prom night party yang akan diadakan akhir minggu ini oleh pihak sekolahnya. Masih ada lima hari lagi dan ia masih belum tahu baju mana yang akan dipakainya nanti.
Konsentrasinya pecah ketika sadar ada orang yang duduk di kursi sebelah.
"That's my tea." Ujar Reyna sambil menghela nafas berat. Di sebelahnya Edmund sedang menyeruput cangkir teh miliknya dengan raut wajah sedikit terkejut.
"Bahasa Inggris kamu lumayan juga."
"Iya dong, kan sering diajak mama ngomong langsung." Jawab Reyna.
"Wangi apa ini ya?" Tanya Edmund yang tiba-tiba mengendus sesuatu. Dari belakangnya, Delina datang dengan sepiring pisang goreng tepung yang masih hangat."Nanti siang ikut mama jalan ya, Rey. Kita cari baju buat prom nanti."
"Hah? Serius ma? Yay!" Jawab Reyna girang sambil meniup pisang goreng di tangannya berkali-kali supaya cepat dingin.
"Ya iyalah. Lantas kamu mau pergi ke pesta pakai celana jeans?" Jawab Delina geleng-geleng kepala.
"A prom? When?" Tanya Edmund dengan gerakan meniup yang sama.
"Hari Sabtu ini. Kamu mau ikut? Sekalian lihat-lihat Bali." Ajak Delina. Edmund mengangguk.
"Kalau gitu aku mau beresin kamar dulu, habis itu mandi, habis itu baru deh siap-siap." Ujar Reyna dengan mulut penuh dan semangat membara. Ia berjalan masuk ke dalam rumah."Edmund, kamu belum cerita sama mama. Kenapa kamu datang ke sini?" Tanya Delina pelan.
"I miss this place, a lot."
"Edmund..."
"Okay, bad things happened in New York. And I want to start from the beginning, Ma. Not today though, I'm not sure. Maybe someday. I'll take my time to catch my breath. All I know is, I want it to be something that begins from home." Jawab Edmund tenang dengan pandangan menerawang.Delina tidak bertanya lebih lanjut. Tak bisa dipungkiri, perceraiannya dengan Derrick Hall, mantan suaminya lima belas tahun yang lalu pasti sudah melukai putra semata wayang mereka. Keduanya tidak memiliki pilihan lain. Delina tidak bisa pergi dari rumah karena penyakit kedua orangtuanya. Di lain sisi, Derrick harus segera kembali ke Amerika untuk bekerja. Awalnya mereka bisa bertahan. Tiga atau empat bulan sekali, Derrick akan pulang ke Bali, dan Delina akan datang ke New York setiap kali ada kesempatan. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Pertikaian mulai sering terjadi di tahun ketiga pernikahan mereka. Begitu terus selama beberapa tahun, hingga akhirnya kedua pihak memutuskan untuk berpisah secara baik-baik. Saat itu Edmund baru berusia sebelas tahun dan belum paham betul dengan apa yang terjadi.
Mereka berdua memutuskan agar Edmund dibawa ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Derrick Hall mewarisi grup perusahaan yang bergerak di banyak bidang dari keluarganya, dan Edmund akan mulai diajarkan untuk menjadi penerus.
Saat itu Delina sendiri tidak menuntut banyak hal. Ia lahir sebagai putri tunggal di keluarga yang berkecukupan. Ia hanya meminta agar putranya diijinkan untuk pulang ke Bali kapanpun anak itu menginginkannya. Awalnya Derrick setuju, namun tetap saja, Bali dan New York bukanlah dua tempat yang berdekatan. Hari berganti minggu, dan minggu berganti tahun. Edmund tumbuh menjadi seorang yang jauh lebih pendiam jika dibandingkan dengan orang lain pada umumnya.
Seiring dengan bertumbuhnya Edmund, komunikasi yang terjalin antara pihak Delina dan Derrick semakin renggang. Hingga kini, percakapan antara keduanya hanya terjadi di hari ulang tahun Edmund, dan pada malam Natal.
Sesuatu yang sangat salah pasti sudah terjadi di New York, pikir Delina. Melihat jawaban samar yang dilontarkan Edmund barusan, Delina tahu kalau ia harus mencari tahu sendiri apa yang terjadi.
"Aku baru tahu kalau mereka buat prom night juga di sini." Celetuk Edmund membuyarkan lamunan Delina.
"Tadinya anak itu engga mau datang, cuma kan sayang. Masa remaja itu cuma sekali aja, masa engga dinikmati." Jawab Delina sambil mengedipkan sebelah mata dan tersenyum penuh makna.
"That skinny little girl really has a boyfriend?" Tanya Edmund kaget. Ia ingat semalam gadis tengil itu bilang kalau itu cuma bercanda.
"Tinggi badan 170 cm gitu kok dibilang little? Dia paling tinggi lho di antara semua temannya. Anak itu memang sedikit kurus sih. Habisnya mau gimana lagi? Makannya banyak, tapi aktivitasnya juga segudang."Siang harinya di sebuah butik di kawasan Kuta, seorang pelayan membawakan dua buah gaun ke dalam ruang ganti. Beberapa pegawai perempuan di tempat itu berkumpul di kasir dan saling berbisik-bisik. Mereka membicarakan tentang betapa tampannya seorang pemuda asing yang baru saja masuk dan kini sedang duduk di depan ruang ganti.
"Kamu sih, udah mama bilang makan yang banyak biar agak gede dikit, ga pernah nurut. Ini jelas harus pakai tambahan pad supaya bagus." Ujar Delina sambil meraba-raba dada putrinya agar gaun yang dicoba bisa pas.
"Ma!" Jawab Reyna panik dengan suara pelan sambil menunjuk keluar.
"I heard that." Sahut Edmund santai dari balik ruang ganti. Ia duduk sambil membaca sebuah majalah traveling.Setelah beberapa saat, Delina keluar dan menarik tangan Reyna yang masih mengenakan gaun ke-5 yang dicobanya. Ia menjatuhkan pilihannya pada sebuah gaun pendek, tanpa lengan, dan berwarna hitam. Gaun itu terlihat kontras dengan kulit putihnya. Pantulan dirinya di cermin terlihat cantik.
Satu tangan Reyna terangkat untuk menahan rambutnya agar tergelung ke atas. Ia berputar-putar perlahan di depan kaca yang berukuran sangat besar di tengah-tengah ruangan butik.
"Bagus?" Tanya Reyna. Delina mengangguk sambil mengacungkan jempol. Gadis itu mencari sosok yang kini berdiri di belakangnya. Ia perlu pendapat seorang pria.
"Hmm, Ma, kasih dia makan lebih banyak lagi." Ujar Edmund sambil membuka kedua telapak tangan lebar-lebar dan mengarahkannya dekat ke dada Reyna dengan gerakan memutar. Setelah itu ia berjalan cepat keluar dari butik sebelum Reyna mengejar untuk memukulinya. "Aku tunggu kalian di mobil." Sambungnya sambil tertawa.Sementara menunggu, Edmund mendengarkan sebuah lagu jazz yang terpasang di radio mobil. Cuaca di Bali memang jauh lebih panas, tapi entah mengapa hatinya terasa tentram. Dalam dua hari ini ia sadar telah tertawa beberapa kali. Lebih cepat dari perkiraannya sebelum datang ke tempat ini. Tatapannya kini tertuju ke dalam butik. Sementara ibunya sedang membayar di kasir, Reyna tampak memeluknya dari belakang sambil mengucapkan sesuatu yang membuat keduanya tertawa lebar.
Sebersit rasa iba dan penyesalan singgah di hati Edmund. Ia membayangkan tahun-tahun sepi yang dilewati dua perempuan itu, tanpa adanya kehadiran satu orang laki-laki pun di dalam rumah yang besar itu. Tanpa sadar kedua tangannya mencengkram setir mobil lebih kuat.
I should have come earlier... sesalnya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dawn (On Going)
RomanceEdmund Hall (Ed), 26 tahun, sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia meninggalkan New York dan mencoba memulai semuanya dari awal di Bali, di rumah ibunya, wanita berdarah Indonesia yang berprofesi sebagai pengajar tari. Di sana Edmund men...