Sepuluh tahun sebelumnya,
Bali, 2008Seorang pemuda keluar dari Bandara Ngurah Rai sambil mengamati pamflet di tangannya. Paras tampan dan postur sempurna pemuda itu sempat menarik perhatian beberapa petugas bandara dan orang-orang yang sedang menunggu mobil jemputan di situ. Belum lama menunggu, seorang petugas mengarahkan pemuda itu ke dalam taksi yang sudah dipesan sebelumnya.
"This is your first time?" Sapa supir taksi membuyarkan lamunan pemuda di belakangnya.
"Iya. Mama saya tinggal di sini."
"Loh? Bisa bahasa Indonesia toh? Aslinya darimana, dik?"
"Papa Amerika, mama asli sini."
"Oh, berarti selama ini tinggal di luar negeri."
"Ya."Taksi itu berhenti di sebuah rumah besar dengan gaya tradisional di daerah Uluwatu. Beberapa anak kecil berusia 6-10 tahun sedang bermain lompat tali di halaman rumah yang luas. Di depan rumah itu terdapat pendopo kecil, tiga orang nenek sedang mengobrol di situ sambil mengupas beberapa buah.
Suara pagar rumah yang dibuka mengalihkan perhatian semua orang yang sedang berada di situ. Pemuda itu melangkah masuk dan matanya langsung mencari-cari sosok seseorang. Ia menjatuhkan dua buah tas yang ia bawa ketika telah menemukan yang ia cari.
"Ma?" Panggilnya pada wanita paruh baya yang sedang menjemur seprai sambil bersenandung di samping rumah.
"Edmund?" Jawab wanita itu penuh rasa tidak percaya. Ia mengedipkan matanya beberapa kali sebelum melihat anak laki-lakinya datang dan berlutut di depannya. Anak itu memeluk erat pinggang ibunya dan mulai menangis tanpa suara."Kenapa ngga bilang mau datang? Kan mama bisa jemput di bandara. Sayang kan ongkos taksinya." Ujar Delina sambil mengaduk teh hangat di depannya. Ia mencoba memecah kecanggungan dengan putra yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dilihatnya. "Kamu sudah makan belum?"
"Belum." Jawab Edmund singkat sambil mencium aroma potpourri dalam mangkuk kaca yang diletakkan ibunya di tengah meja makan.
"Mama masak sebentar, kamu mandi sama istirahat dulu. Ada kamar kosong yang bisa kamu pakai. Ayo bawa barang-barangnya."Rumah yang ditempati Delina memiliki 6 buah kamar tidur. Rumah besar dengan arsitektur tradisional itu adalah peninggalan kedua orangtuanya sejak beberapa tahun lalu. Meskipun besar, tapi rumah itu tidak pernah sepi. Delina adalah seorang guru tari tradisional dan juga memiliki sanggar kerajinan tangan. Hampir setiap hari teras yang luas dan pendopo di depan rumah itu selalu di penuhi anak-anak muridnya, baik tua maupun muda. Jika ia sedang tidak mengajar, beberapa tetangga biasanya datang mampir untuk sekedar mengobrol atau masak bersama.
"Di lemari ada handuk ya, Nak. Kamar mama persis di sebelah. Kalau ada yang kurang cari aja di kamar mama." Ujar Delina dengan suara sedikit bergetar sambil memeriksa kamar yang hampir setiap hari dibersihkan itu.
Edmund menangkap getar dalam suara ibunya. Ia datang dan memeluk Delina dari belakang.
"I miss you too, Ma..." Ucapnya pelan.Selesai mandi, Edmund segera keluar dari kamar dengan memakai celana pendek selutut dan kaos oblong tanpa lengan. Rambutnya masih basah karena baru keramas. Wangi makanan membuat perutnya berbunyi beberapa kali.
Langit sudah terlihat mulai berubah warna menjadi jingga. Di dapur, ibunya sudah membuat beberapa hidangan kesukaannya.
"Masih ingat aja, Ma." Ujarnya sambil tersenyum menatap semua yang ada di atas meja.Baru makan beberapa suap, keduanya dikejutkan oleh suara nyaring perempuan dari pintu depan.
"Mamskiiii, eike pulang! Dan eike lelah! Dan eike lapar!"
"Ganti baju dulu!" Sahut Delina.
"Okaaayyy..." Jawab suara itu. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu kamar dibuka dan ditutup kembali.
"Eike? Who's Eike?" Tanya Edmund pada ibunya. Delina tersenyum.
"Adikmu."
"I have a sister?" Tanya Edmund lagi dengan wajah teramat kaget. Ia berhenti mengunyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Dawn (On Going)
RomantikEdmund Hall (Ed), 26 tahun, sedang berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia meninggalkan New York dan mencoba memulai semuanya dari awal di Bali, di rumah ibunya, wanita berdarah Indonesia yang berprofesi sebagai pengajar tari. Di sana Edmund men...