Hari ini

***

Dengan tubuh yang tegap dan tinggi, seorang lelaki berusia sekitar 21 tahun berdiri di hadapan meja kerjanya dengan pinggul bersandar di tepi meja, tubuhnya menghadap kaca jendela yang tirainya terbuka lebar, menampilkan atap-atap bangunan pencakar langit. Tentunya ia memakai pakaian formal, jas hitam dan setelan celana dasar hitam, dipadu dengan jam tangan yang melingkar di tangan kirinya yang kekar. Tentunya dengan gaya rambut faux hawk menambah kesan tampan dan gagahnya. Kedua tangannya bersedekap di depan dadanya dan kakinya yang menyilang, dengan kedua mata menyorot pemandangan di depannya tak beraturan dengan pikiran melambung entah kemana. Alisnya menukik tajam menandakan ia sedang konsen dengan pikirannya.

Bibirnya yang kecil merah muda itu menghembuskan napas lelahnya, ia berbalik dengan posisi tangan yang sama dan menatap foto berbingkai kecil itu di atas meja kerjanya yang penuh dengan berkas kerja dan alat kerjanya. Ia menghembuskan napasnya sekali lagi, tangan kanannya terlepas dari tempat ternyamannya dan bergerak meraih bingkai foto itu. Dibawanya bingkai foto itu ke depan matanya, ditatapnya penuh dengan tatapan sendu dan senang pada foto yang kertasnya sudah lusuh. Tidak jernih, sepertinya foto itu terpotret dari kamera jaman dulu. Ia tersenyum kala melihat foto yang berisi seorang bocah kecil yang tersenyum lebar di antara seorang wanita dan lelaki tua. Bocah kecil itu dirinya, dan kedua orang tua itu adalah kakek dan neneknya. Kerutan-kerutan itu tampak jelas di wajah kakek dan neneknya.

Tangan kirinya melayang lalu hinggap di kaca foto itu, dielusnya dengan ibu jarinya. Pelan, penuh dengan kasih sayang. Seakan menyentuh pipi kedua orang tuanya dengan nyata. Senyumnya terlihat begitu tulus namun ada sejuta rasa sakit di sana. Wajahnya yang datar dan tatapan elangnya memudar, tergantikan wajah sosok lelaki yang lemah lembut.

"Aku akan pulang. Hanya sebentar." Ucap lelaki itu pada foto berbingkai itu.

Untuk kesekian kalinya ia menghembuskan napasnya yang begitu panjang, mengeluarkan keluh kesahnya yang tak mampu keluar melalui kata-katanya, keluh kesah yang begitu berat. Lidahnya sudah kelu. Ia bisa saja bercerita pada siapapun, namun yang menjadi pertanyaan siapa yang akan mendengarkan? Ia tak memiliki siapa-siapa. Lelaki ini hidup sendiri, teman hanya sebatas kenal saja. Jangankan teman, semesta bahkan menolak mentah-mentah cerita hidup dirinya namun dengan senang hati membuat garis bawah pada kata-kata menyakitkan di hidupnya.

Lelaki itu menaruh foto berbingkai itu kembali di mejanya seperti semula, menampilkan sebuah table sign office yang mencantumkan namanya. Djuanda Aji Pranadipa, dengan garis bawah dan dibawahnya ada tertulis satu kata, CEO.

Lelaki itu meraih ponselnya lalu beranjak pergi keluar ruangan kerjanya. Lelaki dengan nama panggilan Djuanda itu membuka pintunya dan mengeluarkan tubuhnya dari ruangan itu sepenuhnya. Terlihat banyak sekali orang-orang yang berkerja dengan menatap layar monitor komputer dengan konsentrasi penuh. Suara gesekan kertas, suara mouse computer yang di klik dan perpaduan jari dengan keyboard terdengar beradu di satu ruangan yang luas ini. Seorang sekretaris perempuan menghampiri Djuanda dengan membawa sebuah map berisi beberapa lembar berkas penting.

"Permisi, tuan. Berkas yang tuan minta sudah jadi. Saya meminta tanda tangan tuan Djuanda." Pintanya pada Djuanda yang terdiam datar wajahnya.

"Taruh saja di meja." Jawab Djuanda singkat, ia lalu beranjak pergi bersamaan dengan sekretarisnya yang menjawab ucapan Djuanda.

"Baik, tuan."

Dengan gagahnya Djuanda berjalan menelusuri ruangan kerja karyawannya, kakinya yang jenjang kokoh itu melangkah cukup cepat. Beberapa karyawan dan manager Djuanda yang kebetulan berpapasan lewat dengan Djuanda menunduk hormat di hadapannya. Sesampainya di depan lobby Djuanda mencari keberadaan mobilnya yang terparkir sambil mengeluarkan kaca mata hitam dari saku celananya. Dipakainya kacamata hitam itu menambah pesona ketampanan dan kegagahannya. Batang hidungnya yang sangat mancung itu menahan kacamatanya, rahangnya yang tegas serta bibir kecil merah muda, leher jenjang kokoh dengan tubuh terlihat ideal, sungguh paket sempurna bagi semua perempuan. Hanya saja hati Djuanda masih tertutup rapat untuk melirik perempuan.

DJUANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang