Bukan Keluarga Cemara

****

Sebuah tangan besar berkulit keriput itu meraba dan mengelus tangan Djuanda dengan lembut, pria paruh baya itu mendekati anak tunggalnya yang hidup dengan bantuan alat kedokteran meskipun masih di ambang kematian. Pria paruh baya itu sudah berpakaian atas perintah dokter, seperti pakaian bedah. Suara alat-alat medis yang merdu itu memenuhi telinga ayahnya Djuanda, beliau menangis tersedu-sedu di hadapan wajah Djuanda.

"Kamu tampan sekali, nak! Wajahmu persis seperti bundamu!" tangan besar itu bergerak mengelus rambut Djuanda layaknya anak kecil.

"Dahulu kamu masih bayi, nak! Kamu saya titipkan pada nenekmu."

"Ayah akui ayah adalah orang terlaknat dalam hidup kamu, menjadikan kamu seperti anak yatim piatu, tanpa tau wajah bahkan nama orang tuamu. Benar-benar terkubur kabar orang tuamu ini, nak!"

"Maafkan, ayah."

Di depan ruangan ada keenam sahabat Djuanda termasuk kekasihnya, mereka semua menangis tersedu-sedu melihat drama ayah dan anak yang begitu memilukan, sayangnya Djuanda belum sadar, harusnya ia sudah bisa menatap wajah ayahnya saat ini.

"Kamu bukan anak haram, sayang. Kamu anak baik!"

"Nenekmu bilang, kamu benar-benar mirip dengan bundamu yang suci, nak. Akalmu, wajahmu, senyummu dan sifatmu benar-benar persis dengan bundamu."

"Sayangnya, semua salah paham, nak. Ayah bukannya tak ingin bertanggung jawab, tetapi ayah di penjara."

"Ayah tak sengaja melecehkan bundamu dalam keadaan mabuk, bundamu dalam keadaan sadar, hal itu jelas membuat bundamu depresi, nak."

"Saat ayah sadar apa yang ayah lakukan, ayah mengaku kepada kepolisian karena ayah sangat mencintai bundamu, cukup bangga saat bundamu mengandung dirimu meskipun dengan cara tak benar."

"Ada jagoan ku yang akan menyamaiku nanti, dan itu kamu, nak."

"Sayangnya, ayah kena pidana 20 tahun, ayah tau sekarang usiamu sudah menginjak 21 tahun, ayah baru keluar penjara sejak satu tahun yang lalu."

"Semua keluarga, termasuk kakek dan nenekmu mengaku bahwa ayah adalah lelaki tak bertanggung jawab, nyatanya sebaliknya."

"Lalu ayah mendapat kabar ibumu meninggal, ayah tidak tau sejak kapan itu."

"Dokter psikolog bilang, bundamu mengalami depresi yang sangat berat, setelah ayah yang dipenjara bundamu harus dipisahkan denganmu membuat bundamu semakin jatuh mentalnya."

"Ketauhilah, bundamu belum pernah melihat wajahmu. Sama sekali."

"Maaf ayah adalah laki-laki bodoh, bila saja ayah menikahi bundamu terlebih dahulu, yang terjadi tidak begini, nak."

"Maafkan ayah, ya, nak?" ayah menangis tersedu-sedu, suaranya bergetar seirama dengan pundaknya.

Dalam pejaman mata Djuanda mengalirlah air mata perlahan menuruni pelipisnya, Djuanda mendengar semuanya meskipun ia tak tau siapa itu, ia tak sadar, namun hatinya mampu merasakan desiran besar saat lelak itu menyebut dirinya sebagai ayah.

Ayah Djuanda tak henti-hentinya mengucapkan kata maaf dan terus mencium tangan Djuanda.

"Cepat sembuh, nak. Ayah ingin lihat tatapan mata kamu yang sama dengan bundamu."

"Izinkan ayah membangun semuanya bersama kamu, tanpa bunda baru, tetap bundamu yang sedarah denganmu, ayah janji."

"Tapi, ayah minta tolong bangun dan tatap mata ayah, nak."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DJUANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang