Kelicikan Takdir dan Manusianya

***

Dyanin membuka matanya, kepalanya yang terbalut perban terasa pusing dan lukanya perih. Matanya berkedip sangat lemah dan perlahan bola matanya berputar mencari jawaban dari kepalanya yang bertanya ada dimana dirinya berada. Tempatnya yang tak asing bagi gadis berusia 17 tahun itu dan masih setia menggunakan seragam sekolahnya yang sudah kotor, sobek dan penuh darah. Terasa dari tangannya yang kaku akibat jarum infus dan ingatannya beberapa tempo lalu ia sudah tau jawabannya.

Matanya terus berputar, menatap tirai jendela yang terbuka menampilkan cahaya matahari yang redup hingga akhirnya mata Dyanin menangkap sosok Leon di dekatnya.

"Akhirnya bangun juga, udah 4 hari lo ga bangun." ucap Leon membuat Dyanin mengerutkan alisnya spontan.

What? 4 hari? Yang benar saja!

Dyanin masih mencerna kata-kata yang baru saja keluar dari bibir Leon, terlebih ia masih memikirkan apa yang terjadi dengan tubuhnya. Dyanin memejamkan matanya sejenak, ia tak peduli untuk menjawab ucapan Leon ia hanya ingin mengurangi rasa sakit di kepalanya.

Tiba-tiba saja bayangan Djuanda yang tersenyum wajahnya memenuhi pandangan Dyanin dibalik kelopak matanya, hal itu membuat Dyanin membuka matanya seketika, terbuka lebar dengan deru napas yang cepat.

"Dimana Djuanda?!" panik Dyanin membuat Leon tersenyum lalu mendekati Dyanin.

"It's okay, Djuanda lagi kemo."

Leon terus tersenyum menatap Dyanin, Dyanin yang sedang mendesis kesakitan spontan menatap Leon.

"Lo ngapain ngeliatin gue kayak gitu?! Kerasukan arwah pedofil?!" kesal Dyanin menatap Leon tajam.

Justru Leon tertawa renyah, entah mengapa rasa pedulinya terhadap Dyanin semakin hidup.

"Sorry." jawab Leon singkat dan kembali menatap mata Dyanin dengan lekat tentunya dengan senyuman paling indah, namun tetap saja kehadiran bahkan wajah Leon masih dibenci oleh Dyanin, gadis itu memutar matanya jengah sambil berdecih dan kembali mengusap luka di kepalanya yang terbalut perban.

"Panggilin dokter kek, kepala gue sa..."

Ucapan Dyanin terpotong kala Leon bergegas mengikuti perintah Dyanin, gadis itu melongo dengan kelakuan Leon yang berubah. Leon adalah tipikal laki-laki humoris abis dan tak pernah akur dengan Dyanin tapi mengapa baru saja Leon terlihat perhatian dengan Dyanin?

Dyanin kembali memejamkan matanya, bayangan Djuanda terus menerpa pandangannya membuat rasa rindu itu hampir meledak, tentunya rasa bersalah dan penyesalan itu hadir kembali. Dyanin terus berpikir dan bertanya pada dirinya sendiri, sedang apa Djuanda? Apakah Djuanda menghawatirkannya? Bagaimana dengan kondisinya saat itu? Apakah Djuanda masih marah? Argh! Pertanyaan itu berhasil mengambil alih kewarasan kepala Dyanin, rasanya bertambah sakit.

"Kepalanya jangan digerakin terus, ya? Biar ga pusing. Kalo pusingnya ga hilang-hilang Dyanin bisa minum obat ini sebelum makan, syaratnya obat ini harus diminum jika sakitnya timbul kalau sakitnya hilang jangan di minum, ya?" ucap dokter tersebut dan memberikan beberapa resep obat yang dibawakan oleh asistennya.

"Apa saya ada cidera fatal, dok? Saya merasakan kaki saya ga bisa gerak dua-duanya."

Dokter yang sedang meracik obat pun menoleh dengan santai, ia menaruh obat-obatannya tersebut ke atas meja nakas lalu beralih memegang kaki Dyanin yang terbalut selimut.

DJUANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang