Lelaki Muda

***

Djuanda menatap dapur dengan tatapan sendu namun terdapat sejuta kesedihan di sana, bibirnya melengkung menahan tangis. Semuanya masih ia ingat di sini, suara kakeknya, suara neneknya, dan suara ia ketika masih berusia 5 tahun. Setiap detik demi detik bahkan masih ia ingat dengan jelas, tersimpan rapat dan rapi di memori otaknya. Diam-diam otaknya bekerjasama dengannya, meminta untuk tidak melupakan kenangan ini sedikit pun.

Djuanda menarik napas panjang, ditahannya di dada agar tercampur rata dengan kegundah-gulananya dan kemudian di hembuskan keluar melalui hidung namun kegundahan itu tak kunjung keluar mengikuti udara yang dihembuskan, melainkan kekeh ingin tetap singgah di dadanya dan terus menciptakan rasa aneh di dadanya.

Djuanda menelan ludahnya, berusaha menelan pelan-pelan rasa sedih itu, namun tetap tak ingin hilang. Djuanda memejamkan matanya dengan lembut, kemudian dibukanya kembali. Ia tersenyum menatap sekeliling dapur dengan intens, ia bahkan masih merasakan kedua sosok kakek dan neneknya masih ada di sini. Bibirnya kemudian bergerak, mengeluarkan suara yang serak dan bergetar, ia sebenarnya sudah lelah dengan suara ini.

"Ketahuilah, aku rindu."

***

Djuanda mengeluarkan diri dari rumah tua ini, ia berdiri di depan pintu rumah anyaman bambu ini. Ia mendongak sedikit, menatap satu persatu pemandangan hutan di depannya. Lagi-lagi ia menghembuskan napas panjangnya, entahlah, ada sesuatu yang ingin ia keluarkan tapi bukan tangisan, ia terlalu lelah menangis.

Djuanda menggerakkan kakinya, ia harus pergi ke sana. Dengan langkah pelan dan damai Djuanda menikmati setiap detik perjalannya, ia menyusuri hutan yang memiliki jalan menuju sawah dan ia mengikutinya. Ia masih ingat betul kalau jalan ini menuju sawah. Sesekali Djuanda melirik ke kanan dan kiri takut-takut jika ada hewan buas dan liar di sekitarnya, ia berhenti kala matanya menangkap ranting kayu panjang berada di dekat kakinya. Ia meraihnya, dan kembali berjalan dengan menggeret ujung kayu itu ke tanah. Sesekali kayu itu menyeret daun kering dan batu, ini adalah kebiasaan Djuanda sejak kecil.

Djuanda juga menebas rerumputan di sampingnya dengan kayunya itu, entahlah, mengapa ia waktu kecil sangat menyukai kegiatan membuang waktu tersebut. Ia tersenyum kala ia kembali mampu melakukan ini meski kakeknya tidak ada di belakangnya, biasanya ia melakukan ini ketika ia dan kakeknya pergi menuju sawah. Sampai saat ini pun ia tak peduli kayu itu kotor atau bersih.

Perlahan-lahan pemandangan sawah itu mulai terlihat, semakin Djuanda maju semakin dekat ia dengan persawahan kakeknya dulu. Dan ketika ia sampai, banyak sekali petani yang sibuk dengan padinya pada sawah seluas ini, ada yang sedang membajak lumpurnya dengan bantuan alat tradisional dan hewan kerbau, orang itu terus melucuti kerbaunya agar terus berjalan, ada juga yang sedang mencangkul lumpur, dan ada juga ibu-ibu tua yang menanam padinya.

Semuanya sibuk dengan suara khas masing-masing, menambah keramaian yang Djuanda rindukan suaranya. Djuanda berjalan ke gubuk tua dengan kayu menghitam di dekat sana, dimana gubuk itu adalah gubuk ia dan kakeknya. Iya, yang membangun gubuk ini adalah ia dan kakeknya, gubuk ini tidak di sentuh siapapun kecuali ia dan kakeknya.

Djuanda memegang kayu penyangga pada gubuk yang sudah menghitam itu. Mata Djuanda terus menebar ke seluruh sudut gubuknya yang di dalamnya ada seseorang lelaki lebih muda darinya sedang tertidur pulas. Napasnya tampak beraturan dan tidurnya nyaman sekali. Djuanda tersenyum, Djuanda menghembuskan napas panjang.

DJUANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang