Tentang Cinta

****


Ceklek...

Pandangan Oji, Leon dan Dyanin teralih ke sebuah pintu yang terbuka, menampilkan sosok Djuanda yang berada di kursi roda dan Obi yang mendorongnya juga Ramdani yang mengekori keduanya. Tanpa aba-aba Obi mengantarkan Djuanda masuk ke dalam. Mata Djuanda terpaku pada tatapan Oji yang tak bersahabat, Oji juga menatap mata Djuanda tanpa teralihkan sesentimeterpun. Leon tetap mengacungkan pistolnya berjaga-jaga jika saja Oji melakukan tindakan tiba-tiba.

"Ini semua salah kamu." lirih Dyani membuat Djuanda melirik gadisnya yang menangis ketakutan.

Djuanda hanya diam, matanya berkedip dan menatap mata Oji yang tampak penuh dendam di sana. Obi menghentikan Djuanda tepat di hadapan Oji dan Leon, Djuanda berpegangan pada pinggiran brangkas Dyanin dan hendak membangunkan tubuhnya dari duduk, ketahuilah Djuanda sudah melepas jarum infusnya.

Dengan tubuh bergetar Djuanda memaksa tubuhnya berdiri dengan sekuat tenaga meskipun kakinya sudah tak bertenaga termakan kanker. Semuanya menatap Djuanda dalam diam.

Setelah berdiri sempurna tanpa pergerakan lagi, Djuanda menatap Oji dengan lembut. Berbeda dengan Oji yang menatap Djuanda seperti ada dendam di sana. Djuanda tiba-tiba saja tersenyum lembut membuat Oji mengerutkan alisnya heran, melihat itu Leon menurunkan pistolnya. Ada apa Djuanda kemari hanya ingin tersenyum?

Tiba-tiba saja Djuanda meraih pistol dari tangan Oji, anehnya Oji hanya diam dan menurut saja. Kini, pistol itu sudah berpindah tangan. Bak terhipnotis Oji hanya diam menerima. Djuanda memeluk tubuh Oji yang mematung, dengan suara seraknya perlahan-lahan Djuanda berbicara di telinga psikopat itu.

"Gue akui gue salah, gue tarik semua ucapan gue yang nyebabin masalah ini."

Djuanda masih memeluk tubuh Oji tanpa melepasnya, Oji hanya diam mendengarkan tiap kata perkata dalam kalimat Djuanda dan deru napas Djuanda yang sudah memendek. Desiran panas dan sakit menyerbu hati Oji, jadi begini rasanya jika kamu tau beberapa hari lagi akan ditinggal temanmu?

Djuanda menarik napasnya dalam-dalam berusaha mengumpulkan segala keberaniannya lalu dibuangnya bersamaan dengan rasa sakitnya, entahlah pelukannya terasa sangat nyaman. Djuanda kembali tersenyum membiarkan air bening itu memenuhi pelupuk matanya.

"Gue cuma ga mau, gadis gue jatuh di tangan yang salah." dalam pelukannya Djuanda menangis, membasahi bahu Oji dan tubuhnya bergetar di pelukan Oji.

Oji hanya diam, namun terlihat dari dadanya yang bernapas berat tampak menahan sesuatu yang pedih. Ramdani sudah menangis dalam diam, Obi pun keluar dari ruangan tak sanggup mendengar suara tangisan Djuanda, ia selalu berpikir, di akhir hayat Djuanda lelaki paling baik itu masih saja mendapatkan tangisan paling pedih.

Dyanin terdiam mematung, ia seperti wanita bahan taruhan yang hampir saja mati, disisi lain ia menatap lelakinya menangis di pelukan seorang laki-laki psikopat meskipun Oji tidak membalas pelukan Djuanda sama sekali.

Puk... Puk... Puk...

Djuanda menepuk-nepuk lembut punggung Oji membuat air mata Oji berjatuhan, wajah Oji yang menghadap Leon dapat ia lihat Leon ikut menangis dalam diam.

"Gue akui.... Gue---salah!" Djuanda menangis tersedu-sedu.

"Gue ga bisa bahagiain cewe gue, bahkan nyelamatin diri gue, gue ga becus!"

"Gue ga mau Dyanin, perempuan yang paling gue sayang jatuh di tangan yang salah, gue terlalu---cinta sama dia!"

"Ketahuilah, gue sendiri ga tega nitip Dyanin ke Leon, gue tau Leon punya Alya. Gue salah!"

DJUANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang