Perjalanan Takdir Paling Sakit
****
"Gue pamit pulang." pamit Oji pada Obi yang baru saja duduk di kursi sofa dan mendesah lelah.
"Yo'i. Pulang nanti bawa'in martabak, yak?!" teriak Obi pada Oji yang sudah membuka pintu, ya kembaran Oji memang mencintai martabak rasa keju.
"Gampang itu mah!" suara Oji membayang kala pintu tertutup dan laki-laki itu sudah berada di luar.
Obi berdiri kemudian menilik wajah Djuanda, kemudian raut wajah Obi berubah menjadi sedih dan matanya kalut pada wajah pucat milik Djuanda yang terlelap dalam tidurnya. Obi berjalan meghampiri Djuanda dan memegang tangan Djuanda.
"Dju?" panggil Obi.
"Ngan-tuk." jawab Djuanda pelan tetap dalam pejaman matanya yang sangat lengket.
Obi tersenyum simpul, ia lega jika sahabatnya itu masih mau merespon meskipun ketakutan tertingginya tentang Djuanda yang mati tiba-tiba masih menghantuinya. Obi berjalan ke kamar mandi dan gemercik air terdengar dari sana.
****
Sebuah mobil milik Djuanda di ambil alih oleh Oji, lelaki itu memarkirkan mobil Djuanda di sebuah hutan dan ada satu rumah bekas dan kotor dengan ciri-ciri anyaman bambu. Ya, itu adalah rumah Djuanda saat Djuanda masih kecil hanya saja Oji tidak tau jika ia sedang berada di depan rumah Djuanda.
Oji keluar dari mobilnya dan menatap baik-baik rumah anyaman bambu yang tampak menyeramkan itu.
"Serem banget, ini yang shareloc beneran manusia apa roh iseng, nih?" bulu kuduk Oji berdiri membuat lelaki itu mengusap-usap tangan dan lehernya.
Deguban jantungnya mampu ia rasakan berdebar keras dan aliran darahnya mengalir deras.
"Bang?"
"Nying siak!" Oji terkejut hebat hingga menoleh ke kiri, ia dikejutkan oleh suara laki-laki muda di sampingnya.
"Ngagetin aja lo!" kesal Oji memukul angin.
Lelaki muda selaku teman desa Djuanda menggarukan kepalanya. "Abang, abang beneran temennya Djuanda?"
Oji mengangguk-ngangguk, ia tak mau bicara sementara karena suasana menjadi akward setelah ia terkejut. Lelaki muda itu menatap baik-baik mobil Djuanda.
"Ini 'kan, mobilnta Djuanda."
"Lo tau dari mana?!" sentak Oji membuat Lelaki muda berjengit kaget.
"Ehh, anu..."
"Anu anu anu, gatel lo?" kesal Oji pada laki-laki kisaran 17 tahun yang tampilannya memakai kaos oblong dan celana pendek.
"Ehh... Djuanda itu teman kecil saya walaupun beda umur 4 tahun, rumah saya di sana." lelaki muda menunjuk arah rumahnya meskipun barang yang di tunjuk tidak terlihat alias termakan hutan.
Oji pun memandangi arah yang ditunjuk laki-laki itu dengan baik namun ia hanya melihat pepohonan besar dan jalan setapak, kemudian Oji menatap Lelaki muda dengan tatapan jijik, heran dan takut.
"Ga bener nih orang." lirih Oji.
"Dan yang ini..." lelaki muda menunjuk rumah anyaman bambu milik Djuanda yang sudah tak layak huni.
KAMU SEDANG MEMBACA
DJUANDA
Short StoryIni adalah kisahku, sejak kecil hingga dewasa dituntut untuk menangis karena skenario Tuhan yang aku rasa tidak adil untukku. Dan semesta? Lihatlah, dia tidak memperdulikan aku. Tuhan memaksaku untuk tetap hidup, namun Tuhan dengan senang hati tak p...