Mau Jadi Apa?

***

Sholat Maghrib telah dilaksanakan sejak setengah jam yang lalu, matahari telah terbenam sempurna dan tertutupi pepohonan yang menjulang tinggi dengan dedaunan yang bertumpuk. Tangan tua dengan kulit kering berkeriput itu menyalakan api unggun, api itu menyala cukup besar dan menyinari wajah kakek dan Djuanda yang tampan sejak kecil. Nenek keluar rumah sambil membawa wadah berisi beberapa ikan yang sudah dibumbui dan siap di bakar. Djuanda yang berdiri di samping kakeknya menatap api itu dengan tatapan senang hingga mulutnya terbuka kecil. Tentunya senyum itu melekat kuat di bibirnya.

Nenek duduk di samping Djuanda, wanita tua itu mulai menusukan batang bambu yang sudah dibersihkan itu ke dalam mulut ikan hingga tembus ke ekor. Kakek masih sibuk mengurusi kayu-kayu bakar yang ia susun agar apinya tak cepat padam. Beberapa menit kemudian ikan mulai dibakar, Djuanda menunggu sembari bernyanyi. Djuanda hanya memetikan jarinya, sesekali ia menepuk-nepuk tangannya di sela nyanyiannya.

"Satu-satu, aku sayang ibu, dua-dua juga sayang ayah, tiga-tiga..." Suara Djuanda terhenti bersamaan dengan tepuk tangannya.

"Tiga-tiga, sayang adik kakak. Satu dua tiga sayang semuanya." Nenek melanjutkan sambil membalikan ikan agar ikan tidak gosong, suaranya terdengar lembut dan merdu. Siapapun yang mendengarnya pasti hatinya akan berdesir nyaman.

Djuanda terpaku seketika dengan mata mengerjap sembari berpikir. "Djuanda punya ayah dan ibu?"

Nenek dan kakek tercekat seketika, seakan pasokan napas habis saat itu juga dan seakan tulang-tulang mereka tak memiliki sendi. Jantungnya seperti ingin mencelos dari tempatnya. Kakek dan nenek menoleh, menatap Djuanda bersamaan. Lalu kakek dan nenek saling beradu pandang dengan perasaan bingung. Wajah nenek terlihat was-was seakan memberikan kode pada kakek bahwa ia belum siap jika cucunya harus tau malam ini. Kakek menghembuskan napas beratnya lalu kembali pada aktivitasnya, yaitu membenarkan api dan arangnya sambil tertawa kecil seakan mengentengkan masalah saat ini. Posisi Djuanda yang tergugup tiba-tiba itu, masih sama.

"Djuanda punya. Hanya saja, waktu dan tempatnya berbeda." Jawab kakek lembut, kakek menoleh menatap Djuanda, bersamaan dengan itu Djuanda ikut menoleh dan menatap kakek dengan raut herannya. Kakek tersenyum lembut.

Djuanda menurunkan kedua tangannya, "Dimana mereka?"

Meskipun masih berusia 5 tahun, Djuanda terlihat begitu dewasa dengan cara ia berbicara. Ia sedikit berbeda dari anak kecil lainnya, dimana anak kecil lainnya itu lebih sering terlihat basa-basi ala anak kecil sedangkan Djuanda tidak. Yaaa... tak dipungkiri didikan kakeknya terlalu keras.

Nenek kembali menatap ikannya dengan kedua mata dipenuhi air hangat yang membendung, kala air itu jatuh nenek segera menghapusnya agar Djuanda tak melihat. Untung saja rasa sakitnya berada di dalam lubuk hatinya, maka Djuanda tak dapat melihatnya dengan mata telanjang. Nenek kira Djuanda yang masih berusia 5 tahun itu tidak pernah memikirkan dimana orang tuanya, yahh, setidaknya anak kecil seusia Djuanda belum mengerti perkataan orang dewasa secara sempurna. Tetapi anak ini terlihat sangat jenius.

"Nanti Djuanda tau sendiri." Jawab kakek tetap fokus pada aktivitasnya.

Lama-kelamaan tubuh Djuanda terasa panas, terik api mulai menyapa tubuhnya. Djuanda mundur beberapa langkah kemudian kembali duduk.

DJUANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang