Tatap Mata
****
UNTUK TYPO GUE MOHON MAAF, GUYS.
AUTHORNYA LAGI MALES REVISI.
MAKLUM, ANAK NOLEP.
****
"Gue minta maaf."
"Gue kecewa sama lo, Dju. Tapi lo lagi diposisi butuh." Ramdani mengusap air matanya yang kembali mengalir, ia menatap mata Djuanda dengan tatapan kecewa, mata yang sembab akibat air mata yang tak mau berhenti.
"Gue ga punya alasan kenapa gue sembunyiin ini dari lo, kakek maupun nenek gue. Cuma, suka aja nyakitin diri gue." Djuanda tersenyum smirk seakan rencananya pada Tuhan sudah berhasil.
Ramdani kembali meneteskan air matanya dan lagi-lagi ia menghapusnya. "Tega lo sialan!"
Djuanda tertawa renyah sambil menundukan kepalanya, dibelakang Ramdani ada Obi yang terus melahap Cheetos kesukaannya ditemani oleh Oji yang menatap pemandangan di dekat kaca jendela sambil tersenyum smirk, kedua tangannya berada di saku celananya dan tampak lebih misterius, dalam hatinya ia berkata "Tanpa basa-basi gue tunggu oksigen terakhir lo."
"Sejak kapan lo sakit?" tanya Ramdani yang sudah berhasil berdamai dengan air matanya, ia meraih jajanan Cheetos hot yang berada di hadapan Obi, ia duduk di kursi dekat brangkas Djuanda dan membuka bungkus jajanan itu, ia melahapnya penuh nikmat.
"Sejak pertama kali gue nginjek tanah Jakarta."
Ramdani terus melahap Cheetosnya sedangkan Djuanda hanya menatap Ramdani yang begitu lahap memakan jajanan itu.
"Gue udah ketemu makam bunda."
Ramdani mengangkat kepalanya dan menatap mata Djuanda. "Kalo udah sembuh liatin ke gue, ya? Gue pengen liat." Ramdani kembali menatap Cheetos dan melahapnya.
Djuanda tertawa renyah, "Iya."
Drtt...
Drtt..
Obi yang sedang asyik menikmati jajanannya dikejutkan oleh ponselnya yang berdering, sebelum ia meraih ponselnya ia menjilati dan mengemut jari-jarinya, Obi menatap layar ponselnya dan nama Leon tertera di sana.
"Halo, Yon?" seketika Oji melirik dengan sinis, baik-baik telinganya ia besarkan agar mendengar percakapan mereka sayangnya Obi segera beranjak keluar ruangan.
"Gue masih diruangan Djuanda..."
Ceklek..
Pinth tertutup kala Obi sudah berada di luar, Leon menghembuskan napasnya jengah.
"Ji," Oji menoleh kala suara lemah milik Djuanda menyebut sepenggal namanya, raut wajahnya yang smirk dan licik berubah menjadi sahabat yang baik hati.
"Thanks ya udah ajak Ramdani ke sini." Djuanda menyunggingkan senyumnya hingga gigi-giginya terlihat.
Oji tertawa renyah, "Gue juga kaget, Dju, ternyata lo setega ini ga ngasih tau dia soal penyakit lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
DJUANDA
Short StoryIni adalah kisahku, sejak kecil hingga dewasa dituntut untuk menangis karena skenario Tuhan yang aku rasa tidak adil untukku. Dan semesta? Lihatlah, dia tidak memperdulikan aku. Tuhan memaksaku untuk tetap hidup, namun Tuhan dengan senang hati tak p...