Rahasia Lagi
***
Mata Djuanda tiba-tiba meredup, kelopaknya tampak tak mampu untuk membuka lebih lama. Lelaki muda itu turun dari gubuk dengan langkah pincang, kakinya masih tak mampu menapak dengan sempurna, hal itu membuatnya terlambat meraih lengan Djuanda dan akhirnya tubuh Djuanda tumbang ke tanah dengan keras.
"DJUANDA! LO KENAPA?!"
"DJU, BANGUN! MAKANYA LO BILANG KE GUE KALO LAGI SAKIT!"
"DJUANDAA!!!"
Teriakan lelaki muda itu bergema menggetarkan gendang telinga para petani termasuk bapak dan ibu lelaki muda itu yang sedang menanam padi.
Beberapa petani meninggalkan pekerjaannya dan segera beranjak dari lumpur untuk pergi ke kedua orang tersebut. Djuanda tampak terpejam nyaman padahal tubuhnya baru saja menghantam tanah begitu keras. Sakitnya membawa otaknya kehilangan kesadaran.
"Siapa dia?!" panik ibu lelaki muda tersebut, beliau langsung berjongkok menatap wajah pucat Djuanda lebih dekat.
"Bukankah ini Djuanda?!" tanya tak menyangka para petani lainnya yang sudah mengerubungi Djuanda.
"Apa dia sedang sakit? Hidungnya berdarah!" bapak dari lelaki muda itu ikut bersuara menunjuk hidung Djuanda yang darahnya mengalir ke samping.
Lelaki muda itu hanya bisa memegang bahu Djuanda, tubuh Djuanda terlalu berat di angkat oleh anak berusia 17 tahun itu.
"Tidak penting siapa dia! Angkat dan bawa dia ke gubuk!" teriak kesal lelaki muda itu pada orang tuanya dan para petani lainnya.
Para petani dan bapak lelaki muda itu hendak mengangkat tubuh Djuanda namun sang ibu dari lelaki muda itu memberhentikan aktivitas mereka.
"Bawa saja dia ke rumah! Orang yang sedang sakit harus mendapatkan tempat yang nyaman!"
Para petani dan bapak dari lelaki muda itu mengangkut tubuh Djuanda bersama-sama, pria 21 tahun itu di bawa ke rumah ibu bapak lelaki muda itu.
Cukup sulit mengingat desa ini tidak ada jalan aspal, hanya bermodalkan tenaga, sepatu boot dan jalanan tanah yang cukup basah membuat orang-orang itu tampak sedikit kesulitan membawa tubuh Djuanda yang berat.
Lelaki muda itu menaruh tangan kanannya pada pundak ibunya, dengan kaki terluka terangkat ia berjalan--lebih tepatnya melompat dengan satu kaki--dibantu oleh ibunya. Kakinya masih sakit jika harus menapak tanah.
Sesampainya di rumah bapak ibu lelaki muda itu, Djuanda dibaringkan di kasur kapuk milik lelaki muda itu. Lelaki muda duduk di tepi kasur, ia menatap mata Djuanda yang sayu.
Ibunya dengan bergegas mengambil handuk kecil berserta baskom kecil berisi air guna membersihkan darah mimisan Djuanda yang sudah mengalir mendekati telinga.
"Apa kondisinya parah?" tanya salah satu petani, ia meraih topi kerucut nya dan dipeluknya, ia menatap Djuanda dengan cemas.
"Entahlah, saya sendiri tidak tau ada gerangan apa Djuanda datang ke mari." Jawab bapak dari lelaki muda itu.
Ibunya datang, ia segera berjongkok menyamai tinggi wajah Djuanda, ia merendam handuk kecil itu di baskom berisi air, diperasnya lalu darah itu ia bersihkan secara perlahan. "Wajahnya pucat sekali."
"Apa perlu saya panggilkan tabib?" tanya salah satu petani lainnya yang dibalas anggukan kepala oleh bapak dari lelaki muda tersebut.
"Agak cepat, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DJUANDA
Short StoryIni adalah kisahku, sejak kecil hingga dewasa dituntut untuk menangis karena skenario Tuhan yang aku rasa tidak adil untukku. Dan semesta? Lihatlah, dia tidak memperdulikan aku. Tuhan memaksaku untuk tetap hidup, namun Tuhan dengan senang hati tak p...