Hampir Sama
***
Hingga beberapa menit lamanya berdebat dengan keluarga lelaki muda dan para petani akhirnya tabib itu bisa pergi juga, sang tabib lebih memilih pergi daripada harus semakin terpojok hanya karena beberapa pertanyaan, jika dibiarkan ia akan ketahuan berbohong dan akan dimarahi oleh Djuanda yang tabib panggil dengan sebutan tuan muda.
Djuanda masih setia memijat pelipis kepalanya yang masih terasa berdenyut nyeri, ia terus memejamkan mata lelahnya. Ketika derap langkah kaki itu terdengar di telinga Djuanda, lelaki 21 tahun itu segera menaruh tangannya di atas perutnya dan hendak bangun duduk di tepi kasur.
"Tidur saja, Nak Djuanda. Kau masih terlihat lemas dan wajahmu pucat." Ucap bapak ketika ia di ambang pintu menemukan Djuanda yang terduduk di tepi kasur.
Djuanda tertawa kecil. "Tak apa, pak. Saya hanya kelelahan."
Bagi Djuanda, berbicara pada orang tua dengan bahasa saya itu sangat asing di lidahnya. Beberapa orang yang juga sempat di luar kamar ikut menjemput sang bapak ke dalam kamar.
"Apa--nak Djuanda sedang lapar? Jika iya, akan ibu ambilkan nasi dan lauknya." tanya ibu dengan sopan tapi terlihat sedikit gugup dengan punggung sedikit menunduk dan kedua telapak tangan menyatu di depan perut nya.
"Tidak, Bu. Saya hanya lelah bekerja." Jawab Djuanda memanggutkan kepalanya satu kali dengan sopan.
Kemudian ibu terlihat canggung karena tawarannya ditolak oleh Djuanda. "Kalau begitu, Nak Djuanda boleh berisitirahat di sini."
Djuanda menghela napas panjang.
"Maaf kalau saya sudah membuat kalian repot sampai harus meninggalkan pekerjaan kalian." Ucap Djuanda menunduk dengan perasaan tak enak.
Sang bapak tertawa kecil, diikuti oleh beberapa petani yang berada di belakang bapak. "Tak apa, Djuanda. Asalkan kau baik-baik saja kami merasa merasa senang!"
"Kalau begitu, boleh saya berisitirahat di sini sampai malam tiba?" Tanya Djuanda menatap kedua mata orang tua lelaki muda tersebut.
Ibu dan bapak langsung saja mengangguk, "boleh, silakan saja. Jika ada perlu katakan saja."
Djuanda tertawa canggung, ia terus saja memandangi sepatunya yang nampak kotor, ia enggan memandang wajah ibu bapak dari lelaki muda tersebut karena merasa malu dan sungkan. "Terima kasih, pak, buk." Ucapnya.
Ibu dan bapak manggut-manggut saja sambil tertawa kecil.
"Terima kasih juga untuk bapak-bapak lainnya." Ucap Djuanda memandang para petani, para petani itu mengiyakan sambil tertawa kecil karena canggung.
"Baiklah, kalau begitu kami akan lanjut bekerja, nak Djuanda akan ditemani anak saya di rumah." Pamit bapak dengan sopan.
"Baik, pak, terima kasih."
Lalu bapak dari lelaki muda dan para petani pun pergi meninggalkan kamar untuk kembali melanjutkan pekerjaan mereka di sawah.
Si ibu beranjak mendekati anaknya, "jangan lupa, jamuannya."
"Iya, Bu." Jawab lelaki muda itu tertawa canggung, kemudian ibu menjemput suaminya pergi ke sawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DJUANDA
Short StoryIni adalah kisahku, sejak kecil hingga dewasa dituntut untuk menangis karena skenario Tuhan yang aku rasa tidak adil untukku. Dan semesta? Lihatlah, dia tidak memperdulikan aku. Tuhan memaksaku untuk tetap hidup, namun Tuhan dengan senang hati tak p...