Belut atau Ular?

***

Hai, aku kembali!

Double update, ya!

Gimana kabar kalian? Semoga sehat selalu, ya?

Aku rasa ini scene ngakak😂

Oh, iya, kasih tau juga kalau ada typo, ya?

Selamat membaca❤

***

"Jadi orang sukses, ya, Dju?"

"Jadilah seperti matahari..."

"Itu adalah angan-angan kakek. Simpan baik-baik sampai kamu dewasa, ya?"

"Djuanda, cucu kakek yang pintar!"

"Sukses seperti matahari, ya, Dju!"

Jari-jari kecil itu terus memilin, melipat, mengikat sehelai batang rumput panjang hingga rumput itu rusak dan koyak karena sang pelaku sibuk melayangkan pikirannya. Setetes air mata jatuh mengenai ibu jari kecil itu, napasnya sesak hingga dadanya harus mengambil napas dengan berat. Ia, masih kecil. Tapi kakek neneknya ingin ia tau, bahwa angan-angan orang tuanya sangat besar. Seakan dikejar sesuatu, sehingga tak memiliki waktu lagi saat memberi tau angan-angan mereka, seakan Djuanda harus mempersiapkan dari awal, yang padahal ia tak punya bekal apa-apa.

Hidung bocah kecil itu memerah, bibirnya bergetar sedari tadi menahan tangisan yang hendak meledak, air mata terus menetes tiada henti, membuat pandangannya memburam dalam tundukan kepalanya.

Di sisi lain, Djuanda harus tau siapa orang tuanya. Meskipun ia tak tau dimana mereka, setidaknya ia bisa melihat wajah ayah dan ibunya, sekaligus untuk pertama dan terakhir kalinya. Di sisi lainnya lagi, ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mengapa dengan begitu teganya ayahnya tak kembali mengambil dirinya lagi? Setidaknya ia bisa meminta tolong atas beban yang ada di kepala Djuanda sejak kemarin.

Dari kejauhan, kakek menegakan punggungnya. Terik matahari pagi menguras keras keringatnya. Beliau mengelap peluh di dahinya dengan kain baju di pergelangan tangan kirinya. Tangan kanannya dengan sigap terus memegang pacul yang masih setia menancap ke dalam lumpur sawah. Beliau menatap Djuanda yang duduk menunduk di gubuk kayu itu, terlihat rerumputan dan beberapa padi yang sudah tumbuh setinggi pinggul itu bergoyang aduhai karena semilir angin sejuk.

"DJUANDA!!"

Jelas saja Djuanda terpekik kaget, rumput yang ia pegang dan ia pilin di jari-jarinya pun sampai terjatuh ke tanah, ia segera mengelap seluruh air matanya yang jatuh dan langsung menatap kakeknya yang jauh di sana. Yaa.. jarak gubuk dan sawah tempat kakeknya berdiri sangat jauh. Djuanda dengan cepat menetralkan napasnya yang berat, juga detak jantungnya yang berdebar cepat karena terkejut.

"KEMARILAH! KAMU TIDAK MAU MAIN LUMPUR?!" Meskipun kakek berteriak, suaranya masih saja sedikit tenggelam dalam semilir angin dan jarak yang jauh.

Djuanda tersenyum lebar hingga gigi-giginya terlihat tertata rapi, ia turun dari gubuk dan berlari menuju kakeknya. Sesampainya di sawah, ia segera turun ke dalam lumpur tanpa takut sama sekali, hal ini sudah biasa Djuanda lakukan. Kedatangan Djuanda membuat kakeknya tertawa kecil, ia begitu bangga mempunyai cucu seperti Djuanda. Dengan kesusahan Djuanda menghampiri kakeknya karena lumpur tebal hampir setinggi lututnya.

DJUANDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang