Chapter 02

321 268 195
                                    

[Semua organisasi, agama, lokasi, dan karakter dalam cerita ini hanya fiktif]

"Mengikhlaskan kepergian seseorang adalah hal yang sangat tidak diinginkan oleh semua orang, terlebih orang tersebut yang paling dekat dengan kita. Apa perasaanmu jika itu terjadi dalam kehidupanmu? Marah? Sedih? Tidak terima? Mengikhlaskan? Atau malah menyalahkan takdir Tuhan?"

•••

Jenderal Pim meninggalkan rakyat Kastil Greenland di luar halaman. Amora tiba-tiba saja menjadi geram, karena tingkah laku prajurit tidak memberikan izin untuknya masuk. Sudah hilang kesabaran Amora dibuatnya. Dirinya menjadi agresif. "Lepaskan saya!" Sembari menunjuk kedua prajurit yang menghadangnya masuk.

"Kalau saya tidak diizinkan masuk oleh kalian, baiklah, saya akan bicara di sini." Suara lantang itu mampu mengheningkan suasana sekitar.

"Dengarkan perkataan saya semuanya. Suatu saat nanti, kerajaan ini akan diambang kehancuran. Banyak fitnah kejahatan merajalela, rakyat kalian sendiri akan terkena imbasnya. Saya tidak bersumpah, ini adalah ramalan saya ketika tuan putri Elena beranjak dewasa kelak.

Langkah kaki Jenderal Pim sukses dibuat mati langkah oleh Amora. Mendengar semua perkataan Amora membuat dirinya menegang seketika. Rakyat berbisik-bisik dengan ucapan peramal tua barusan.

"Apa yang peramal itu katakan. Beraninya ia berkata seperti itu," ucap Gwen, berbisik kepada Lyn.

"Bagaimana kalau ia sampai dihukum berat, karena perkataan dia yang tidak pantas," sambung Lyn.

"Perkataan itu seperti sumpah serapah baginya. Aku jadi takut, apabila ramalan itu sampai benar terjadi di masa depan," tutur Zean.

"Semoga saja Jenderal tidak mengadu masalah ini kepada Yang Mulia Raja," ucap Noer.

"Iya, semoga saja Jenderal Pim tidak mengadu ke Raja. Aku jadi kasihan dengannya, kalau ia sampai benar-benar mendapat hukuman berat dari Raja," tutur Annie merasa kasihan kepada Amora.

"Hey! Kenapa kamu malah mengasihani peramal tua tersebut?! Erick memarahi ucapan Annie yang terdengar konyol.

"Biarkan saja peramal tua itu dihukum. Itu hukuman yang pantas buat dia,"sambungnya.

Sontak, Kapten Cedric menghentikan ucapan ramalan Amora. "Apa yang nenek barusan katakan?!" Pelan namun penuh penekanan.

"Cepat minta maaf ke Jenderal sekarang juga!"

Amora masih terdiam di tempat. Atmosfer yang ia rasakan kini jauh berbeda. Semua pasang mata tertuju padanya saat ini. Denyut jantungnya memompa seratus kali lipat tidak dari biasanya. Normalnya, denyut jantung manusia hanya memompa sekitar enam puluh sampai dengan delapan puluh kali permenit. Amora sadar akan sikap kelakuannya yang kurang sopan pada kerajaan. Akhirnya, ia mengaku salah atas perkataannya.

Amora menghela napas. "Maaf atas perkataan saya barusan, Jenderal. Saya mengaku salah." Amora menunduk malu dihadapan Jenderal Pim dan Kapten Cedric.

"Saya tidak ada maksud untuk menyumpahi kerajaan ini. Sekali lagi, saya minta maaf yang sebesar-besarnya."

Jenderal Pim berjalan ke arah Amora. Entah kalimat apa yang akan ia lontarkan kepada wanita tua tersebut. Dengan gagah berani, Jenderal Pim akhirnya mendekati Amora.

"Maafkan saya, Jenderal." Amora bersimpuh dihadapan Jenderal Pim.

"Saya tidak ada maksud untuk bersumpah akan kejelekan kerajaan ini," lirih Amora merasa bersalah.

THE EVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang