Chapter 03

304 267 249
                                    

[Semua organisasi, agama, lokasi, dan karakter dalam cerita ini hanya fiktif]
•••

Raja Carlos duduk termenung di dalam gereja. Dirinya meratapi kesedihan yang ia rasakan saat ini, memikirkan bagaimana keadaan Elena tumbuh dewasa tanpa kasih sayang seorang ibu. Dengan raut wajah seperti orang tidak tidur, ia menatapi patung bunda Maria dihadapannya.

"Bagaimana bisa anakku tumbuh dewasa tanpa seorang ibu baginya," lirihnya melipat tangan dan menangis.

Ternyata ada sosok laki-laki yang mengintip dari luar gereja. Sosok tersebut masih saja berdiri melihat Raja Carlos duduk berdiam diri di sana.

"Tuhan aku tidak sanggup merasakan kepahitan ini sendiri."

"Kami baru saja dikaruniai seorang anak untuk pertama kalinya. Lalu mengapa, Engkau mengambil kebahagiaan yang selama ini kami nanti." Tangis Raja Carlos pecah.

"Tuhan tidak pernah salah dalam mengambil keputusan."

Raja Carlos menoleh ke belakang melihat sosok tersebut tengah berjalan ke arahnya. Sosok lelaki tua itu duduk di samping Raja Carlos. Dirinya memberi sebuah nasihat kepada sang Raja.

"Jangan berani-berani kau menyalahkan Tuhan. Itu tidak ada dalam aturan agama manapun," ucap Perdana Menteri.

"Lalu mengapa? Kami baru saja merayakan kelahiran putri kami. Lalu setelah itu, langsung ditarik kembali oleh-Nya. Bukankah itu tidak adil namanya?," lirihnya seraya memeluk tangan Marcus.

"Tarik ucapan mu! Sesuatu yang telah terjadi, pasti sudah dihitung oleh-Nya. Alkitab menerangkan dengan jelas bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti dirinya sendiri. Istri juga harus memiliki timbal balik yang dalam kepada suaminya. Keduanya, harus menjalankan peranan mereka sebagai satu daging."

"Alkitab juga membenarkan bahwa kesedihan akibat kematian pasangan sangatlah menyakitkan dan berkepanjangan."

"Menjanda atau menduda tidak sekadar berarti menjadi lajang kembali."

Raja Carlos terenyuh mendengar nasihat dari Perdana Menteri. Dirinya masih berusaha menahan butir air mata agar tidak jatuh keluar.

"Hilangkan sedihmu dan ikhlaskan kepergian istrimu, dengan begitu kau tetap bisa mengasihi anakmu sampai ia tumbuh dewasa."

••••••

Amora masih terus berada di samping Jenderal Pim sampai saat ini. Melihat di sekeliling tidak terlihat batang hidung dari sang Raja. Amora pun bertanya, "ke mana perginya Raja sehabis upacara?"

"Sepertinya Raja sedang istirahat, Nek. Kasihan Raja dari semalam beliau belum sempat beristirahat sama sekali," tutur Jenderal Pim.

"Sulit jika kita menemukan Raja di tengah keramaian seperti ini."

Amora berpikir kembali apa yang barusan Jenderal Pim katakan ada benarnya juga baginya. Tidak mungkin, jika ia tetap kekeh ingin bertemu Raja di saat situasi seperti ini. Akhirnya, ia putuskan untuk tetap menunggu kedatangan Raja apabila sang empu kembali datang kemari.

Jenderal Pim sedang berbincang dengan dua petugas upacara. Sorot mata yang intens membuat Amora sedikit mundur.

"Wanita tua di belakang punggungmu itu siapa, Jenderal?" tanya seorang petugas upacara secara pelan.

Jenderal Pim menoleh ke kanan terdapat Amora sedang bersembunyi di balik tubuh tegapnya itu. Senyum manis Jenderal Pim menampilkan satu lesung pipi. "Nenek ini Amora. Dia ingin sekali bertemu dengan Raja," ujar Jenderal Pim.

"Oh begitu."

Dua petugas upacara tersebut tersenyum simpul menganggukkan kepala. Amora yang melihat mereka tersenyum itupun ikut membalas dengan senyuman tipis.

THE EVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang