honesty

341 128 256
                                    

Sore ini semburat cahaya jingga mulai menampakkan dirinya, menambah kesan pilu bagi seorang pemuda yang masih setia bercengkrama dengan lara. Pemuda itu tengah menatap sinar mentari yang perlahan mulai meredup. Ternyata benar, senja tidak baik untuk orang yang sedang patah hati.

Raganya melambung entah kemana, meratapi nasibnya di senja kala itu. Otaknya terus saja memutar ulang rekaman kejadian beberapa saat yang lalu. Hal yang tidak pernah sedikitpun ia harapkan justru terjadi.

"Kamu mau ngomong apa?"

"Hal yang seharusnya aku bicarain sejak dulu," ucap Harris pasti dengan tersenyum sumringah.

Jembatan penyeberangan Kota Jakarta menjadi pilihan Harris untuk menetapkan hari spesialnya. Ia akan memperjelas semuanya sekarang. Harris akan menyatakan perasaannya saat ini juga, pada gadis yang ia tahu sudah cukup sabar menunggu hingga datangnya hari ini.

Pikirnya akan sangat indah senja hari ini untuk disaksikan bersama gadisnya itu. Gadis yang sama, namun dengan status yang berbeda. Betapa sempurnanya awal mereka yang baru untuk dihabiskan bersama sembari mengantar matahari kembali tertidur.

"Udah cukup lama aku buat kamu nunggu, Gi. Maaf, ya?"

Gigi mengulas senyumnya, lantas mengusap lembut pundak pemuda itu. "It's okay, aku gak keberatan. Take your time, Ris. Kamu juga gak perlu minta maaf kok. Seperti yang aku bilang, aku gak akan kemana-mana."

"Tapi sekarang aku udah siap, aku benar-benar udah yakin sama kamu. Lebih tepatnya, aku udah siap untuk mulai semuanya sama kamu. So, Gianna. Would you be my girl?" Harris menatap penuh harap pada gadis itu, walaupun hatinya yakin dengan jawaban yang akan ia dengar.

Namun senyum yang mulai memudar dari wajah sang gadis membuat hatinya mencelos seketika. "Kamu yakin, Ris?" tanya Gigi dengan raut yang sulit untuk diartikan.

Harris terkekeh pelan menanggapinya. Ah mungkin Gigi sedang mengujinya, begitu yang ia pikirkan sebelum gadis itu melanjutkan kalimatnya.

"Apa benar hati kamu itu untuk aku? Apa kamu yang selama ini aku kenal benar-benar Harris yang sesungguhnya?" tanya Gigi secara beruntun masih dengan raut yang sama. "Aku kasih kamu waktu itu untuk kamu berpikir, Ris. Untuk kamu yakinin diri kamu sendiri, siapa yang sebenarnya ada di sini," jelas Gigi seiring dengan tangannya yang terangkat menyentuh dada pemuda itu.

"Aku baru tau kamu suka clubbing," lanjutnya yang mengetahui bahwa si pria masih kebingungan. Ia terkekeh sinis melihat pemandangan di depannya, pemuda itu masih belum berkutik. "Apa lagi, Ris? Apa lagi yang gak aku tau? Sisi mana lagi dari diri kamu yang belum kamu tunjukkin ke aku?" desak Gigi dengan suaranya yang bergetar. Gigi enggan menangis saat ini, memang apa untungnya? Dia hanya akan terlihat lemah di hadapan pemuda yang mulai ia ragukan hatinya.

Segala emosi berkecamuk dalam diri Harris, ini benar-benar di luar rencananya. Dia kecewa mengetahui Gigi yang meragukan ketulusannya, namun juga sakit melihat gadisnya hendak menangis.

"Gi, kamu ngomongin apa? Kapan aku clubbing? Kamu tau betul kan aku orangnya gimana, siapa yang bilang ini ke kamu? Kenapa kamu percaya, Gi?" Harris mencoba sebisa mungkin untuk tidak terpancing. Ini hanya salah paham, Harris yakin itu.

"Aku liat pakai mata kepalaku sendiri, kamu keluar dari tempat itu sama perempuan. Maaf, karna aku kecewa. Aku tau aku gak ada hak untuk larang kamu. Makanya, aku mau memperjelas ini semua."

Gigi menjeda kalimatnya untuk menetralisir emosi yang masih terus menguak dalam dirinya. "Maaf, aku bener-bener minta maaf. Tapi untuk saat ini aku gak bisa. Hati aku terlanjur ragu sama kamu, Ris. Maaf," tutupnya dengan wajah yang tertunduk. Ia tidak berani untuk menatap iris pemuda di hadapannya. Terlalu takut untuk melihat kekecewaan yang ia tau akan tersirat jelas di sana.

Limerence with G [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang