can we?

245 95 186
                                    

Joan baru saja keluar dari ruang kerjanya usai memeriksa beberapa dokumen dari sekretarisnya. Di ruang tengah terlihat putri sulungnya sedang menonton televisi. Namun begitu mendekat Joan sadar, justru putrinya lah yang ditonton oleh benda pipih persegi panjang itu. Entah apa yang sedang Jessi pikirkan hingga tak sadar dengan kehadiran sang ayah di sebelahnya.

Pria itu menghela napasnya pelan, kemudian mengelus kepala putrinya. "Ayah perhatiin kayaknya kamu ada masalah, Je. Beberapa minggu ini kamu itu ngelamun terus, murung aja bawaannya. Ada apa? Gak mau cerita?"

Jessi melirik ayahnya sekilas sebelum kembali bersitatap dengan benda persegi panjang yang menyala di depannya. Gadis itu menarik napas dalam dengan raut yang semakin murung. "Aku bingung, Yah. Theo kayaknya marah deh sama aku," jawabnya lesu seolah tidak lagi mempunyai semangat untuk hidup.

"Emangnya kamu tuh habis ngapain sampai Theo bisa marah gitu? Gak bisa dibicarain baik-baik?"

"Itu dia masalahnya, Ayah! Theo gak ada kabar sejak malam prom, nomornya gak aktif, semua sosial medianya hilang. Aku bingung harus gimana," keluh Jessi seraya bersandar pada Joan. "Sekeras apa pun aku pikirin, gak ada alasan jelas untuk Theo ngelakuin hal ini. Hubungan kita baik-baik aja, aku juga gak ngelakuin hal yang berpotensi jadi alasan dia hilang gini."

Joan terus mendengarkan putrinya tanpa berniat menyela, tangannya masih bergerak mengusap pucuk kepala gadis itu guna memberi ketenangan.

"Tapi, sikap Theo cukup aneh belakangan ini. Dia selalu ngomongin hal-hal yang biasa diucapin sama orang yang bakal pergi jauh, Yah. Dia bilang mau sama-sama aku selamanya, tapi nyatanya justru dia malah ngilang kayak gini. Ternyata ini maksud dari semua perkataan dia selama ini ya, Yah? Menurut Ayah aku harus gimana?" tanya Jessi yang masih setia dengan tatapan kosongnya.

"Menurut Ayah, ada suatu hal yang gak bisa Theo kasih tau ke kamu. Entah apa itu, intinya dia mau jaga perasaan kamu dengan nyembunyiin hal tersebut. Tapi, Ayah juga bingung mau kasih saran apa, Je. Masalah kalian ini terlalu rumit, lebih sulit dari rumus menghitung saham." Jessi mengulas senyum tipis mendengar ayahnya yang berusaha melawak itu.

"Bapak-bapak banget jokes-nya," ujarnya yang terkekeh pelan.

"Nah, kalau senyum gini kan cantiknya keliatan anak Ayah. Jangan sedih lagi, ya. Kalau Theo tetep gak ada kabar, mungkin kalian emang belum berjodoh." Mendengar itu benar-benar membuat hati Jessi terkoyak. Tapi ayahnya itu benar, hal ini bukannya tidak mungkin. Ini mungkin akhir baginya dan Theo, akhir dari hubungan yang ia pikir akan selamanya.

Memang benar, waktu tidaklah menjamin sebuah hubungan. Selama apapun mereka bersama, bukan berarti itu selamanya. Buktinya sekarang mulai terlihat tanda dari Tuhan untuk awal dari perpisahan mereka.

"Ayah gimana? Gak mau rujuk sama bunda?" tanya gadis itu sembari kembali menegakkan posisi duduknya, menatap Joan yang kini terlihat merengut mendengar pertanyaan Jessi.

"Ayah sih mau, tapi bunda kamu bilang dia masih ragu. Jadi gini ya rasanya galau, udah lama Ayah gak ngerasain ini." Pria paruh baya itu menghembuskan napasnya sedikit kasar melihat putrinya yang tengah berusaha menahan tawa mendengar ceritanya.

"Ditolak nih ceritanya? Wah most wanted gini aja ditolak," ucap Jessi yang tak henti-hentinya tertawa. "Bunda emang paling keren, panutanku!" Joan hanya pasrah melihat itu, setidaknya putrinya sudah kembali ceria.

Suara pintu yang terbuka membuat ayah dan anak itu menjeda obrolannya dan menoleh ke arah pintu utama. Putri bungsu Joan yang datang, bersama kekasihnya.

"Lagi ngapain, nih? Asik banget keliatannya," sambar Gigi yang langsung bergabung di tengah Joan dan Jessi.

"Aduh, Dek! Masih banyak tempat buat duduk, malah nyempil. Pacar kamu tuh sendirian," tunjuk Jessi pada Harris yang duduk di sofa single.

Limerence with G [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang