29. I Forgive You

2.7K 165 2
                                    

Ann's POV

"Terima kasih, sudah menolongku," ucap Jill setelah aku memakaikannya jaket milikku.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk, berusaha untuk menenangkannya. "Baiklah, aku akan mengambilkan pakaian untukmu, kau masuk saja ke toilet itu, aku akan menyusul," ucapku sambil beranjak dari tempatku duduk dan membantu Jill untuk berdiri.

Aku memutuskan untuk mengambil kemeja kotak-kotak biru yang dipakai Daniel karena aku pikir ia adalah kakak Jill jadi tidak apa-apa. Aku juga melepas celana jeans yang ia pakai. Beruntung dia memakai celana pendek dibalik celana ini seperti kebanyakan laki-laki. Jadi ini tidak terlalu buruk.

Setelah aku melepaskan pakaian Daniel, aku menyeretnya ke sisi lorong agar ia tidak berada di tengah jalan, lalu aku menarik temannya yang tidak kuketahui namanya hingga sekarang. Ketika aku menyeretnya dengan menarik kedua tangannya, aku melihat sebuah luka gigitan di lengannya. Tapi...kenapa dia tidak berubah? Sejak kapan ia digigit? Lukanya tidak terlihat baru karena terlihat sudah sedikit mengering.

Ini aneh. Bagaimana bisa ia tetap normal seperti orang yang tidak terinfeksi? Memang dia sebenarnya tidak terlihat begitu sehat sebelumnya, tapi itu tidak seburuk yang terlihat, tidak terlihat seperti ia akan berubah menjadi salah satu dari mayat hidup yang berkeliaran menyantap orang lain.

Aku terdiam beberapa saat untuk mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang mendatangi kepalaku. Tapi aku yakin aku tidak akan bisa menjawabnya sendiri. Mungkin aku akan bertanya kepada Jill nanti. Sekarang aku harus pergi menghampirinya dan memberikannya pakaian Daniel.

"Jill..bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanyaku pelan ketika Jill berada di dalam toilet untuk mengganti pakaiannya.

"Ya," jawabnya dari dalam bilik toilet.

"Bagaimana kau bisa bersama dua orang kejam itu? Kenapa kau memilih untuk bertahan bersama mereka? Apa mereka melakukan sesuatu kepadamu?" tanyaku sekaligus. Aku tahu itu bodoh, tapi aku tak bisa menahannya. Aku akan menyimpan pertanyaan tentang gigitan itu di akhir.

Aku bisa mendengarnya menghembuskan napas dan menghentikan kegiatannya di dalam bilik. Tak lama kemudian dia keluar dengan pakaian lengkap, dia menghampiriku perlahan lalu duduk di depan cermin, lebih tepatnya di atas wastafel sedangkan aku bersandar di dinding.

"Aku bersama Daniel. Jareth menemukan kami lalu mereka berdua menjadi dekat. Mereka menjagaku. Tetapi setelah aku nyaman bersama mereka, Jareth, laki-laki yang pertama kau tembak mempengaruhi Daniel dan mereka mulai bersikap kasar kepadaku. Dia sering sekali memaksaku, menyuruhku, mendorongku seperti aku ini sebuah boneka tali yang bisa ia kendalikan seenaknya. Dia menyuruhku berbagai macam hal yang tidak semuanya baik."

Terjadi keheningan selama beberapa saat. Aku tidak berbicara, hanya terdiam mendengar penjelasannya dan merenungi, membayangkan bila aku menjadi dirinya aku mungkin tidak akan bertahan selama ini seperti Jill.

"Dia melakukan hal gila, Jareth memanfaatkanku untuk merekrut orang-orang di sekolah ini yang masih bertahan dan menjadikan mereka sebagai umpan. Entah kenapa ia melakukan itu dan Daniel pun berubah, ia mengikuti apa yang Jareth lakukan. Dia membenciku," Jill menghentikan ceritanya dan menunduk. Setiap ia menyebutkan nama Daniel, suaranya bergetar.

Tak lama ia melanjutkan ceritanya, "Mereka selalu mencari seorang gadis yang terlihat rapuh. Korbannya yang terakhir adalah seorang gadis cantik berambut pirang bernama Sophia, mereka memanfaatkannya untuk menghambat zombie yang mengejar mereka. Mereka menembaki zombie itu dan mengunci satu zombie di sebuah ruangan lalu melempar Sophia itu ke dalam dan menjadikannya makanan zombie itu."

"Zombie?" tanyaku ketika mendengar Jill menyebut mayat hidup dengan sebutan 'zombie'.

"Ya, zombie, kau tahu...mereka menggigit, memakan daging,..."

"Aku tahu, tapi aku tidak pernah menyebutnya dengan sebutan itu, aku selalu menyebut mereka 'mayat hidup' saja," selaku.

"Mungkin kau mau mulai menyebut mereka dengan sebutan zombie, lebih singkat dan sebutan itu sudah ada sejak dulu," balas Jill. Aku akhirnya mengangguk. Mungkin benar. Mungkin aku akan mulai menyebut mereka zombie.

Namun apa yang baru saja ia ceritakan terdengar familiar di telingaku. Gadis pirang, suatu ruangan, zombie, dimakan, itu...tempatku dan Alex beristirahat. Berarti, laki-laki yang menyerangku dan Alex pada saat itu adalah mereka berdua. Pantas saja saat aku mengejar mereka, aku mendengar suara Nala namun aku tidak terlalu mempedulikannya.

"Mereka gila. Mereka benar-benar gila dan aku tidak percaya aku melakukan yang mereka suruh. Aku sungguh bodoh, membantu mereka untuk membunuh gadis-gadis tak bersalah. Dia menyekap Nala bersamaku. Dia bilang aku harus dekat dengannya agar dia percaya bahwa aku adalah temannya, lalu dia menyuruhku untuk membawanya. Entah apa yang ingin dilakukannya kepada Nala namun dia mengancamku," Jill mengatakannya dengan penuh penyesalan.

"Jika aku tak melakukan apa yang dikatakannya, dia akan menjadikanku umpan lainnya. Aku tidak mau itu. Aku tahu, kau pasti berpikir bahwa apa yang dikatakan Daniel benar, aku hanya seorang pengecut, kau tidak seharusnya menyelamatkanku atau membawaku bersama kalian, aku hanya akan menyusahkan kalian."

Aku berusaha mencerna apa yang baru saja dikatakan Jill. Walaupun apa yang dia lakukan benar-benar buruk, aku tetap merasa sangat prihatin dengannya. Dia melalui hal-hal lebih buruk daripada dikejar zombie-zombie lapar. Lebih buruk daripada kakinya terluka karena tergelincir dari tangga, lebih buruk daripada bahunya tertembak. Dia sudah pasti akan mengalami trauma yang sangat berat.

"Lalu saat Jareth masuk untuk memeriksa kami, Nala malah melawan dan membuatnya marah. Dia menarikku ke tempat ini dan menanyakanku, dia memukuli tubuhku dan meninggalkanku berbaring di lantai yang dingin dan keras ini. Aku tak tahu apa yang dilakukannya terhadap Nala, maafkan aku," Jill terdengar sangat menyesal di akhir kalimatnya. Aku mengerti, tapi mungkin aku tak akan menjadi begitu takutnya hingga membahayakan nyawa orang tak bersalah dan benar-benar percaya padamu karena itu salah.

"Aku mengerti, aku turut bersedih atas apa yang telah kau alami. Itu pasti berat. Kau hanya takut, tapi kami semua takut, aku takut, Alex takut dan kebanyakan orang melakukan hal bodoh saat mereka takut," ucapku berusaha menghiburnya. Tak lama Jill menoleh ke arahku dan tersenyum.

"Baiklah, sekarang kita menyusul Alex, sepertinya Nala baik-baik saja, semoga," ucapku sembari berdiri tegak dan berjalan menuju pintu keluar bersama Jill.

Kami berjalan menyusuri lorong yang sangat sunyi dan kali ini terasa mencekam. Ketika aku menoleh ke belakang, terlihat Jill yang berjalan lambat sembari melihat sekelilingnya dengan ketakutan di kedua matanya, kedua tangannya yang mungil memeluk dirinya dengan erat. Aku pun berhenti dan menyuruhnya berjalan di depanku, memimpin jalan ke ruangan di mana Alex menemukan Nala.

"Alex?" panggilku ketika memasuki ruangan yang ternyata toilet juga. Aku mengangkat senjataku dan melihat ke sekeliling ruangan dengan teliti, berjaga-jaga jika ada zombie. Aku mulai terbiasa menyebut mayat hidup itu dengan sebutan zombie.

"Aku di sini," terdengar suara parau Alex. Ia terdengar seperti habis menangis.

Keningku mengkerut ketika mendengar suara Alex yang mengkhawatirkan. Apa yang terjadi?

Aku melihat seseorang duduk di lantai di dalam bilik toilet dengan senapan di samping kakinya yang menekuk. Alex. Dia meletakkan kepalanya di pangkuan seseorang. Nala. Aku langsung berlari menghampirinya dan spontan tanganku yang tidak menggenggam senjata menutup mulutku yang terbuka lebar ketika melihat keadaan Nala yang sangat buruk.

The Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang