6. Greatest Fear

4K 275 2
                                    

Nala's POV

Akhirnya aku memutuskan untuk melupakan tas ku beserta segala isinya. Aku menggenggam erat senapan yang Jack berikan lalu berjalan perlahan menuju dapur kafetaria, mencari Ed dan Stephanie atau siapapun yang ada di sini yang masih hidup, bukan yang kembali hidup dari kematian. Lalu berusaha mencari jalan keluar dari gedung sekolah ini.

Aku mendengar suara tembakan keras berturut-turut, asalnya dari tempat Jack pergi tadi. Aku langsung saja berlari, terkejut saat melihat Jack berbaring di lantai dengan mata sayu yang terbuka dan dengan senapan yg terlempar agak jauh darinya, terlihat empat mayat hidup tergeletak dengan mengerikan dan dua lainnya yang menggigit tubuh Jack. Aku serasa ingin menangis, bagaimana nasib adiknya jika masih hidup?

Aku terbangun ketika kedua mayat hidup tersebut melihatku dan langsung berlari ke arahku, aku langsung saja membidik kepala salah satunya dan menarik pelatuk. Aku tidak tahu betul cara menggunakan senapan, tetapi aku berhasil mengenai pinggulnya hingga ia terhempas, kemudian aku melakukan hal yang sama kepada mayat hidup satunya dan kali ini aku mengenai kakinya hingga ia terjatuh. Mereka tidak mati, belum, maka aku mendekati mereka yang menjadi lebih lambat lalu memukul kepala mereka satu persatu dengan cepat dan keras hingga mereka akhirnya berhenti. Tidak melewatkan tubuh Jack yang masih berbaring. Aku menembaknya.

Mengapa Jack tidak berubah? Atau mungkin setidaknya tidak secepat yang aku saksikan sebelumnya?

Lampu di lorong berkedip-kedip, membuat suasana semakin menyeramkan. Jantungku berdegup tidak karuan hingga aku sendiri pun bisa mendengarnya, nafasku berat seperti seseorang yang mempunyai penyakit asma, seluruh badanku bergetar, dan rambutku tergerai berantakan, entah sejak kapan kunciranku terlepas.

DEG! Lampu mati total namun masih ada cahaya dari jendela, tetapi tetap saja lorong terlihat remang-remang dan penglihatanku bukanlah yang terbaik. Entah apa yang terjadi, apakah ada seseorang yang sengaja mematikannya atau terputus dimakan oleh para mayat hidup yang tidak puas dengan daging kami.

Terdengar sebuah geraman dan kaki yang diseret. Aku bersiaga dengan senapanku, mengarahkannya ke segala arah. Aku terdiam sebentar dan mendengarkan darimana asalnya suara itu.

Kiri!

Aku bersiaga. Mengarahkan senapanku dengan badanku yang bergetar dengan hebat. Tiba-tiba, terdengar suara lagi, kanan. Tidak, belakangku. Tidak, kiri. Tidak, aku tidak tahu! Suara-suara itu datang dari mana-mana. Kepalaku serasa seperti mau meledak mendengar suara-suara tersebut. Aku mundur, mundur, dan terjatuh, tersandung oleh sesuatu yang tergeletak di lantai.

"Aaah!!" aku segera menutup mulutku dan kembali bangun.

Orang itu sudah tidak utuh, kakinya seperti digerogoti rayap, perutnya terbuka lebar, terlihat usus dan isi perutnya, tangannya hanya tulang. Aku menutup mulut dan hidungku, rasanya ingin muntah, mayat ini terlihat masih baru. Sepertinya mayat hidup yang memakan mayat ini berada tak jauh dari tempatku berdiri. Aku kembali bersiaga.

Samar-samar aku melihat segerombol orang berjalan terpincang-pincang dengan badan hancur, berdarah-darah, dan bau busuk, tidak, mereka bukan orang, mayat hidup!

Mereka terlalu banyak, aku tidak bisa menembaki mereka satu persatu. Saat mayat hidup itu tidak terlihat, aku menghentikan langkahku dan mengambil nafas sejenak, menunduk memegangi lututku.

Sekarang aku berada di dalam lab komputer yang pintunya tidak bisa ditutup, tersangkut oleh sesuatu. Aku berbalik, memutuskan untuk berbaring sebentar di atas meja di pojok ruangan dan aku baru tersadar bahwa tenggorokanku sangat kering. Aku haus, sangat haus.

Geraman terdengar lagi, tetapi kali ini hanya dari satu sumber, dari depan lab komputer. Aku langsung saja turun dari meja, bersiap-siap dengan senapanku. mayat hidup itu masuk, saat melihatku dia berlari, benar benar berlari, tidak terpincang-pincang atau semacamnya. Aku berusaha menembaknya tetapi tanganku gemetar dan keringat mengalir deras. mayat hidup itu menghantamku, membuat senapanku terlempar, aku terjatuh.

Mayat hidup itu berada di atasku, dia berusaha menggigit leherku dan aku mendorong bahunya dengan tanganku sekuat tenaga. Liurnya yang menjijikan menetes dan mengenai wajahku, aku memekik. Dengan sekuat tenaga aku menendang mayat hidup itu hingga ia terlempar, aku mengambil kesempatanku untuk menjauh, merangkak dan duduk memeluk lututku di salah satu kolong meja komputer.

Ia tengkurap lalu menyeret tubuhnya mendekatiku. Aku gemetar hebat dan napasku sangat berat, terdengar isakan kecil keluar dari mulutku, aku menutup telingaku lalu memejamkan mataku. Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi, senapanku berada jauh dari jangkauanku dan aku mengutuk diriku sendiri karena tidak berusaha untuk mengambilnya ketika aku memiliki kesempatan.

Apa ini akhir dari hidupku? Dimakan oleh mayat hidup yang mungkin sebenarnya adalah guru atau mungkin temanku? Seseorang yang kukenal?

Terdengar suara nyaring seperti suara tembakan. mayat hidup itu mati, padahal satu dorongan lagi dari kakinya ia akan mennyentuhku. Keningku mengerut ketika melihat sebuah sosok berdiri cukup dekat denganku, terlihat pistol di tangannya dan dia terdiam.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya. Aku mengenal suara itu, tetapi otakku tidak bisa memutuskan siapa pemilik suara tersebut. Perlahan aku merangkak keluar dari kolong meja dan terpaksa harus melangkahi mayat hidup yang mati itu. "Alex?"

"Nala?" ucap bayangan itu. Dia menjatuhkan pistolnya dan berlari ke arahku dan langsung saja melingkarkan kedua tangannya di tubuhku, aku pun membalasnya dengan erat.

"Aku tidak percaya kau di sini, kau menyelamatkanku," ucapku dibalik bahu Alex.

"Aku mendengar dari luar ruangan maka aku memutuskan untuk masuk dan tidak kusangka aku melihat melihat senapan tergeletak dan mayat hidup yang sedang menghampiri sesuatu. Aku pikir pasti dia melihat seseorang dan benar, ternyata kau," dia melepaskan pelukannya dan tersenyum melihatku. Kakinya mundur beberapa langkah untuk mengambil pistolnya dan senapanku yang tergeletak di lantai.

"Terima kasih," ucapku sembari melihatnya mengambil kedua senjata dari lantai.

Ia kembali berdiri dan memberikanku senapan yang dia genggam.

"Ayo kita pergi dari sini."

The Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang