9. Why?

3.8K 244 6
                                    

Nala's POV

Alex berjalan di depanku dengan perlahan tapi pasti. Ku akui wajahnya sangat tampan kalau sedang serius seperti itu dan ekspresi wajahnya lucu sekali. Eh ada apa denganku? Aku harus serius mencari jalan keluar.

Tanpa kusadari Alex telah berdiri di dekat tangga menungguku dengan serius tetapi aku malah tersenyum melihatnya.

Ayolah Nala, serius!

Alex melanjutkan langkahnya menuruni tangga dengan perlahan dan aku mengikutinya di belakang. Ia mengintip dari sela-sela pegangan tangga, aku hanya menunggu di belakangnya. Tetapi tiba-tiba ia terkejut dan berbalik dengan cepat.

Tubuh kami bertabrakan dan menyebabkan suara yang cukup keras, aku terjatuh ke belakang dengan Alex berada tepat diatas tubuhku. Ini canggung.

"Pergi! Cepat!" teriakannya tertahan. Dia segera bangun dan menggenggam senapannya dengan erat lalu membidik ke arah tangga, dengan begitu aku tahu ini gawat dan kami harus bersiap.

Aku terkejut melihat segerombolan mayat hidup lambat yang jelek sedang menaiki tangga. Alex berusaha menembaki mereka satu persatu, tetapi mereka terlalu banyak, maka ia pun berlari menjauhi tangga menyusulku yang berada lebih jauh di depannya.

Oh tidak! Kakinya terkilir dan itu terlihat sangat menyakitkan. Aku langsung berlari ke arahnya dan berusaha membantunya berdiri tetapi badannya terlalu berat, maka aku berusaha menembaki para mayat hidup, untungnya mereka lambat, tetapi tetap saja mengerikan.

"Pergi! Tinggalkan aku! Aku akan menyusul!" Teriak Alex yang membuatku panik.

"Tidak Alex! Aku tidak akan meninggalkanmu! Ayo!" Aku berusaha membantu Alex berdiri lagi, kali ini benar-benar berdiri. Aku mengalungkan lengan Alex di leherku sembari sesekali ia menembak para mayat hidup.

Kami masuk ke gymnasium. Alex melepaskan tangannya dari bahuku, lalu menahan pinu gym.

"Ambil keranjang basket itu! Dorong dan bawa kesini!" Alex menyuruhku mengambil keranjang besar berisi bola basket. Aku segera berlari dan mendorong keranjang itu sekuat tenaga tetapi berat sekali walaupun ada roda di keranjang ini. Kulihat Alex mulai kesulitan menahan pintu gym, aku pun mengumpulkan tenagaku dan melangkah lebih cepat. Yes! Berhasil, pintunya kini tertahan oleh keranjang basket.

Aku dan Alex terengah-engah. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding sedangkan aku memegang kedua lututku dan berusaha mengumpulkan napas. Aku berjalan mendekati Alex, kembali mengalungkan lengannya di bahuku untung menuntunnya ke bangku tribun.

"Bagaimana kakimu?"

Pertanyaan macam apa itu? Sudah pasti tidak baik baik saja! Dasar bodoh Nala!

"Ya...tidak baik," jawabnya. Aku mengeluarkan botol minum dari tas ranselnya. Kami bergantian meminumnya.

"Baiklah, aku akan coba menghabisi mayat hidup lapar di depan pintu." Aku pun beranjak dari bangku tribun dan berjalan ke arah pintu namun Alex menahan tanganku.

"Ada apa?" Tanyaku, aku berjalan kembali menghampiri Alex.

"Pakailah ini, akan lebih mudah, tidak berisik dan kita bisa menghemat peluru," dia memberiku sebuah pisau yang terlihat seperti pisau militer. Mengerikan sekali, dapat darimana dia?

Aku mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil pisaunya dan berjalan berlahan ke arah pintu dengan para mayat hidup yang bergerombol di baliknya. Sementara aku berusaha menghabisi mayat jalan, aku melihat Alex memijat kakinya perlahan. Sepertinya sudah membaik.

"Berapa banyak mayat hidup yang kau bunuh?" Tanyanya tiba-tiba.

"Lima," jawabku. Aku Mendengar Alex tertawa kecil.

"Apa yang lucu?" tanyaku dengan dahi mengerut.

"Sudah berjalan 5 menit dan kau baru membunuh tiga?" Ucapnya dengan sedikit meledek.

"Memangnya kenapa?" ujarku acuh tak acuh lalu meneruskan pembantaian mayat hidup. Ketika aku menoleh ke pintu, tubuhku membatu. Pisau di tanganku terjatuh karena aku merasa lemas.


***

Alex' POV

Nala terlihat lucu jika marah seperti itu. Tapi jujur, dia lambat sekali hanya untuk membunuh mayat hidup itu, apa susahnya? Tusuk saja bagian kepalanya dan mereka akan mati, atau menembaknya tepat di kepala mereka, lalu mereka mati. Tapi setidaknya dia membantuku.

Kakiku sudah membaik, aku sudah bisa menggerakkannya walaupun masih sedikit sakit. Tiba-tiba Nala menjatuhkan pisaunya dan membeku. Aku mengerutkan dahiku dan memanggil namanya, karena ia tidak menjawab aku pun berdiri dan berjalan perlahan ke arahnya.

Kedua tangannya terangkat menutupi wajahnya, seketika ia terlihat seperti berteriak namun tanpa suara yang kemudian berubah menjadi tangisan pilu. Aku mulai berlari dan memegangi kedua bahunya agar dia tidak terjatuh.

Itu...Stephanie. Aku...tidak menyangka, aku bisa merasakan kepedihan Nala. Aku memeluknya dan mendekap kepalanya ke dadaku, berusaha untuk menenangkannya

"Sebaiknya kita duduk," ucapku sambil menuntunnya ke bangku tribun tetapi dia melawan.

Ia melepaskan dirinya dari pelukanku, "aku harus melakukannya."

Nala berjalan mendekat ke pintu gym yang terdapat dua kaca transparan di pintunya, ia menatap kakaknya yang berdiri tepat di sisi lain pintu gym. Ia mengambil pisau yang terjatuh dari tangannya sebelumnya. Mengetahui bahwa menggunakan pisau akan lebih sulit karena harus dari jarak dekat, aku memberinya senapan.

Selama beberapa menit suasana menjadi sepi, suram, sedih, pilu, semua menjadi satu. Gym terasa semakin gelap, padahal ini baru pukul dua siang.

Nala melamun dengan air mata masih menetes di pipi lembutnya.

"Nala, aku, turut berduka," ucapku hati-hati.

"Kami...hubungan kami baru saja membaik kemarin, tetapi dia sudah meninggalkanku sekarang dan dia tidak akan kembali," ucapnya dengan tatapan kosong dan air mata di pipinya.

Aku hanya bisa menghela napas karena aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi.

"Kita kehilangan orang-orang yang kita cintai, ya kan?" katanya sambil melihat ke arahku dan tersenyum masam. Aku membalas senyumnya sembari mengangguk pelan. Aku menggeser tubuhku agar menjadi lebih dekat dengan Nala supaya bisa merangkul dan menenangkannya.


***

Nala's POV

Ini tidak salah kan, jika aku merasa aman dan nyaman bersama Alex saat ini. Kami memang sudah berteman cukup lama dan cukup dekat, namun tidak setiap hari kami bertemu. Ia membantuku melalui pengalaman hidup yang sulit yang mungkin bisa membuatku patah semangat dan menyerah.

Tetapi...tak kusangka Stephanie telah mati. Aku tidak akan melihatnya lagi dan tidak bisa menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dari sebelumnya. Aku berusaha untuk memunculkan pikiran positif di kepalaku agar aku tidak patah semangat. Aku yakin dia mati dengan berjuang, dia tidak akan menyerah begitu saja, bukan Stephanie yang kutahu jika dia menyerah begitu saja.

Aku bersandar di bahu Alex, dengan tangannya yang masih merangkul bahuku. Aku tersenyum kecil lalu mengangkat kepalaku dan menatapnya.

"Alex, terima kasih telah menyelamatkanku, aku tidak akan ada di sini jika kau tidak datang pada waktu itu," ucapku. Alex hanya tersenyum manis, senyum yang paling manis yang pernah kulihat darinya. Entah mengapa tiba-tiba aku bergerak mencium bibirnya sekilas.

Alex terlihat terkejut namun kemudian senyumnya kembali. "Aku senang telah menemukanmu."

The Way OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang