maaf

73 37 4
                                    



Merasa tubuhnya sangat lelah, Nara mulai bangkit dari ruangan itu, menyeka air matanya kasar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Merasa tubuhnya sangat lelah, Nara mulai bangkit dari ruangan itu, menyeka air matanya kasar. Langkah demi langkah ia tujukan kepada ruangan nuansa abu-abu di lantai atas. Perih di pipinya masih terasa, hati ikut teriris menahan sakit. Membaringkan tubuhnya seakan alam mimpi lebih indah dari pada dunia ini.


Jam sudah menunjukkan pukul 22:21, Nara terbangun mendapati perutnya yang sudah sangat lapar, ingatkan Nara ia belum makan apapun dari siang tadi. Segera menuju dapur dan meminta tolong maidnya untuk membuatkan nasi goreng kesukaannya, ia tersenyum manis ketika maid itu meletakkan hidangan yang sudah ia nanti di atas meja. Senyumnya mulai menghangat lagi dan segera menyantap makanan itu dengan lahap.

" Masakan bibi emang tidak pernah mengecewakan." Pujinya.

Maid itu hanya tersenyum kepada Nara "non tidak tidur?"

"Aku sudah tidur dari sore tadi, sekarang aku sudah tidak mengantuk lagi bi,"

"Yasudah bibi kedapur dulu non, permisi."

Bosan rasanya, hanya berdiam diri di ruangan itu tanpa ada seorang pun, kesepian melanda gadis itu, rasa rindu mulai terakit kembali "ah, aku merindukan mama," ucapnya lirih. Matanya mengedar melihat setiap sudut ruangan, sepi dan sunyi. "Mari kita lihat, sampai kapan aku bisa bertahan." Ucapnya getir.

Nara melangkahkan kakinya menuju taman belakang rumah, tidak terlalu luas. Namun mampu membuat Nara betah berlama-lama disana, ia dudukkan bokongnya itu di di alas rerumputan hijau. Kepalanya mengeladah ke langit, mimik wajahnya menyendu. Bulir-bulir bening membasahi pipi manisnya, ia mulai memutar alunan music violin di telepon genggamnya. Inilah candu Nara ketika hatinya terluka, ia akan mengatakan keluh kesahnya kepada sang langit malam, membiarkan angin malam membelai surai hitam itu. Menangis dalam diam, tersedu sedu sebagai tanda rasa sakitnya. "Tuhan, bagaimana bisa aku berjalan? Disaat kakiku di hancurkan. Bahkan untuk berdiri saja aku tak mampu." ucapnya dengan isakan kecil yang pilu.

"Mama, apa mama tau? Kemaren aku pergi menari tanpa sepengetahuan ayah. Aku tau ayah akan marah jika mengetahuinya, tapi apa aku salah, mah? Apa aku salah mencari obat untuk luka yang terus menerus menghampiri ku? Aku kecewa, ayah menamparku lagi. Hati ku ikut bungkam menahan rasa kecewa yang luar biasa kepada pria itu. Maafkan aku mama." adunya menahan sesak di dada. Ntah lah, ia tidak yakin ini akan terdengar oleh mamanya di surga sana, ia hanya ingin melepas beban yang di tanggung. "Bulan sampaikan ke mamah ya, aku merindukannya." Nara memeluk lututnya kuat, wajah sembab itu terbenam di antara dua lutut.

Dirasa malam semakin larut, Nara memutuskan untuk segera kembali ke kamarnya. Membuka buku-buku ilmiah yang akan ia ujiankan besok, Nara harus berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkan nilai terbaik semester ini. Ia tidak ingin mendapatkan umpatan lagi, atau diseret bak hewan didepan teman temannya.

RAIN NARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang