Bintang

69 34 5
                                    

RUMAH SAKIT

Bintang mengelus lembut tangan Nara yang terbebas dari jarum infus, matanya sayu dengan rambut berantakan. Kepalanya berdenyut sedari tadi, perutnya bergejolak untuk segera mengeluarkan isinya. Merasa tak tahan dengan rasa sakit yang menghampiri, Bintang segera mencari obat yang sudah menemaninya beberapa bulan terakhir. Meminum pil-pil obat itu dengan sekali teguk.

Jihan datang dengan dua kotak bubur ayam ditangan nya, matanya terbelalak melihat Bintang yang meneguk obat yang cukup banyak ditangannya, tanpa mau menerka-nerka Jihan bertanya dengan hati-hati "Bin, lo minum obat apa sebanyak itu?"

Bintang terperanjat, apa yang akan ia katakan kepada Jihan. Setau Bintang tadi Jihan sedang pergi mencari sarapan, tapi kenapa sekarang ia berada disini. Bintang memutar otak untuk mencari alasan.

"I-itu vit-vitamin. Nah iya vitamin." Bintang terlihat gugup.

Jihan mengernyitkan alisnya, sedikit tidak percaya. "Lo minum vitamin sebanyak itu?"

"Banyak tanya lo. Sarapan gw mana? Udah ngamuk nih para cacing perut gw," hindarnya.

Jihan sadar bahwa sahabatnya ini mengalihkan topik pembicaraan, mencoba acuh dengan berbagai pertanyaan yang ada di dalam benaknya. Lagipula perutnya sudah meronta-ronta minta di isi. "Nih, cuma ada bubur ayam di depan."

Dengan cepat tangan Bintang meraih bubur ayam yang disodorkan oleh Jihan, berjalan santai ke arah sofa yang memang di sediakan untuk orang yang menjaga pasien. Memakan bubur itu dengan lahap, bagaimana tidak, Bintang belum menyentuh makanan dari malam tadi.

"Dokter bilang apa tadi?" Jihan melirik ke arah Bintang yang asik melahap sisa bubur di mangkuknya.

"Nara baik-baik saja, sebentar lagi juga bangun." Ucap Bintang santai. "Gw udah selesai, tunggu disini bentar! Gw mau ngurus administrasi dulu," sambungnya.

Jihan mengangguk santai, dengan sibuk membereskan sisa bungkus bubur ayam tanpa ada rasa curiga sedikitpun dengan sikap Bintang.

Melihat persetujuan Jihan, Bintang segera menuju toilet yang dekat dengan ruangan Nara. Berjalan dengan sedikit bantuan dari dinding rumah sakit. Memuntahkan semua bubur ayam yang baru saja ia makan, pening mulai menghampiri Bintang lagi. Ternyata obat yang ia minum belum bereaksi. Tubuhnya ia biarkan merosot menyentuh lantai, matanya terasa sangat berat, dan tak lama kegelapan sudah menerpa netra coklat itu.

Jihan menggenggam tangan mungil Nara, air matanya luruh begitu saja. "Ra, lo capek ya? Tidak apa-apa tidur aja dulu, ayah lo jahat ya? Gw tau kok. Tapi yang harus lo tau Ra. Lo tidak sendiri di dunia ini, lo masih punya gw, punya Bintang. Jadi bertahan ya! Jangan melakukan hal konyol untuk mati." Jihan terkekeh di sela sela tangis yang ia tahan. Perasaan gelisah sudah mendominasi Jihan saat ini, walau ia tidak tau penyebabnya apa. Namun netranya tidak lepas dari sosok Nara.

Pemilik surai hitam itu mengerjapkan matanya pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam netranya. Mengumpulkan kesadaran.

"Jihan."

Jihan menatap netra si pemilik surai hitam itu dengan lekat,  segera mungkin ia hapus jejak air di matanya.

"Ra." Panggilnya. "Apa ada yang sakit? Bagian mana? Gw panggil dokter dulu." Jihan begitu antusias.

"Ji, tidak perlu. Gw baik baik saja,"

Jihan tersenyum lembut, menggenggam tangan Nara, "gw tau itu."

Nara membalas senyum Jihan dengan lembut, sungguh ia sangat Beruntung bertemu dengan Jihan. Orang yang sangat tulus menyayangi nya.

RAIN NARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang