"Ayah jangan tinggalkan Nara disini sendiri. Ayah, sungguh kau tau aku sangat takut dengan gelap. Jangan pergi" Nara memohon kepada ayahnya, meminta sedikit belas kasih, matanya begitu penuh harap agar sang ayah bisa membebaskannya dari semua rasa takutnya.
Seakan tak peduli dengan semua permohonan anaknya, hatinya sudah membatu. Sekeras apapun untuk menembusnya, itu tak akan bisa tertembus "Apa peduli ku tentang itu? kau sudah mempermalukan aku ayahmu, Nara."
"Aku sudah berusaha ayah. Tolong lepaskan aku, kumohon ayah." Nara bersujud di depan sang ayah, isakannya pilu.
"Lalu dimana hasil usaha mu itu? hah." Sentaknya, "dimana Nara? Aku tidak melihat hasil yang memuaskan." Bisiknya di telinga Nara, suaranya lembut namun tajam. Nara meremang hanya dengan mendengar bisikan itu.
Merasa muak dengan anaknya itu, sang ayah segera bergegas pergi dari gudang pengap itu. Tak lupa ia menguncinya, berharap Nara akan jera setelah ini.
Tolong beri tahu si ayah, bahwa untuk mendapatkan nilai terbaik itu tidak gampang. Nara harus bersaing dengan temannya yang memang menguasai akademik, sedangkan Nara sangat lemah dibidang ini. Nara sudah berusaha untuk menyeimbangi temannya. Tapi mengerti lah, dengan nilai rata rata 95,75 itu adalah suatu pencapaian besar untuk Nara yang tidak mengerti fisika. Berapa angka lagi yang di inginkan oleh sang ayah? bahkan sang ayah tidak melirik piagam piagam tari yang sudah dimenangkan oleh anaknya Nara.
Sudah hampir satu jam Nara meratapi dirinya yang teramat tidak berguna, pikirnya. Dengan kurang ajarnya petir menyambar dengan keras, membuat Nara terkejut bukan main, lampu yang menjadi akses pencahayaan menjadi mati. Tubuh Nara menegang seketika, sungguh ia sangat takut sekarang, ia benci hujan, ia takut petir dan sekarang kegelapan.
Tubuhnya seakan dibelai oleh angin yang menusuk tulang, badannya merosot menyentuh lantai. Matanya tertutup erat, Nara tidak sadarkan diri.
^^^^^^^^^^^^
Dipusat perbelanjaan Bintang dan Jihan sibuk memilih barang yang akan dihadiahkan untuk Nara. Mereka berniat menghibur Nara yang mungkin sekarang lagi tidak baik-baik saja.
"Bin lo mau kasih apa?" tanya Jihan melirik rak-rak yang tersusun rapi dengan boneka-boneka lucu.
"Kayaknya gw mau kasih boneka bear deh. Kira kira Nara suka gak ya?"
"Yaudah itu aja, buruan! Perasaan gw ga enak dari tadi," ucap Jihan tampak gelisah.
"Oke, gw kekasir dulu," Bintang.
"Yaudah buruan!"
Setelah membayar boneka bear itu Bintang dan Jihan bergegas menuju kediaman Nara, sungguh perasaan Jihan sedang dilanda kegelisahan.
Bintang tengah asik menyetir, sesekali ia melirik ke arah Jihan yang sibuk melihat jalanan dari jendela. "Ji, kalau lo ngantuk tidur saja. Nanti gw bangunin kalau sudah sampai di rumah Nara."
"Lo tidak apa-apa nyetir sendiri?" Jihan mengalihkan atensinya penuh ke arah Bintang.
"Gw tidak apa-apa, lo tidur aja!"
"Nanti bangunin gw!" Ucap Jihan sembari menutup matanya perlahan.
"Oke." Pandangan Bintang tetap tertuju dengan jalan.
Tak terasa 30 menit berlalu. Mereka sudah sampai di kediaman Nara. Pekarangannya luas, namun tampak begitu sepi.
Bintang melirik Jihan yang masih terlelap, menguncang pundak Jihan pelan berharap sang empu membuka matanya. "Ji, sudah sampai. Ayo bangun!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN NARA
General Fiction"Jika akhir dari semua ini tetaplah kematian, lalu untuk apa bersusah payah mencari tujuan disaat kita tidak diberi pilihan." "Aku tidak menyangka ternyata kau seputus asa itu. Kau salah jika beranggapan kita tidak diberi pilihan Nara. Kita bisa mem...