Depresi???

41 24 3
                                    

"DIA BUKAN ANAK KU"

deg, tidak pernah terbayangkan kata kata itu keluar dari bilah bibir sang ayah. Hancur bercampur sakit sudah menjadi satu. Nara bergeming sedikitpun dari posisi nya. Mata nya memanas, satu kalimat lagi, mampu membangkitkan iblis dalam dirinya. Jika kalian berfikir Nara akan menangis lalu memaafkan ayahnya, kalian salah besar. Nara tidak senaif itu

"Kau dari anak sialan itu bodoh," teriak sang ayah

"Apa maksud anda tuan?"  giliran Bintang membuka suaranya "kau tak pantas berbicara seperti itu kepada Nara, dia anakmu!"

"Kau siapa? tidak usah ikut campur dengan urusan keluargaku"

"Saya tidak terima sahabat saya diperlakukan seperti ini."

"Kauuuuuu!" Ayah Nara mengepalkan tangannya, seakan ia menghitung untuk segera memukul pemuda kurang ajar ini.

"CUKUPPPP! HENTIKAN SEMUA INI! HENTIKAN!" Nara terisak setelah berteriak cukup lantang dihadapan sang ayah.  Ia menangis pilu, mencoba menegarkan hati untuk tidak terlihat lemah lagi. Memberanikan diri untuk menatap mata sang ayah dengan tenang.

"Kau pikir aku akan menangis kali ini tuan, kau salah, aku tak senaif itu, aku tak peduli kenapa kau mengatakan aku bukan anakmu, terserah jika kau memanggil aku anak sialan, namun dari detik ini kita adalah orang asing, aku memutus hubungan dengan mu ayah," lanjutnya.

Sang ayah tersenyum remeh, berjalan pelan ke arah sang anak. "Memutus hubungan? Dari awal kau memang tidak mempunyai hubungan denganku. Aku dengan senang hati menampung dan merawatmu karena permintaan ibumu, jadi jangan besar kepala kau keparat. Sudahlah! Aku muak melihatmu disini, kemasi barang-barangmu dan angkat kaki dari rumah ini. Anak tak tau di untung!" Sarkasnya.

Nara memalingkan wajahnya ketika kata-kata itu datang untuk menusuk hatinya, sakit sekali mendengar orang yang sangat di cintai berkata tak pantas seperti itu kepada seorang anak. 'aku tau aku salah ayah, aku akui itu. Namun pantaskah kau memperlakukan aku seperti ini, sekalipun aku bukan anak kandungmu,' ucap batin yang sudah jauh dari kata hancur.

Merasa tak tahan dengan si tua bangka, Bintang berhasil melayangkan satu tinju nya di rahang tegas ayah Nara, membuat sang ayah terhuyung dengan mengeram marah, "berani sekali kau bocah keparat!" Ucapnya dengan tangan yang siap membalas pukulan Bintang. Namun sayang,  tangan Nara yang biasa nya lemah sekarang menggenggam erat kepalan tangan sang ayah yang hampir menyentuh perut Bintang. Tatapannya tajam dengan bekas tangis yang masih terlihat.

"Lucu sekali kau tuan, berlagak sombong dengan harta ibuku. Kau pikir aku tidak tau semuanya? Aku tau semua yang terjadi di masa lampau! Kau bilang kau menampung dan merawatku dengan senang hati? Bukankah seharusnya kalimat itu tertuju kepadamu. Ibuku dengan senang hati menampungmu dirumah ini, jadi tak usah berlagak ingin mengusirku dari sini. Apa perlu aku ingatkan lagi? Bahwa rumah ini atas nama ibuku dan sebentar lagi semua ini akan menjadi milikku, ahli waris satu-satunya," ucapnya dengan senyum manis meremehkan. Sang ayah tertegun mendengar fakta yang bertahun-tahun sudah ia sembunyikan.

"SEKARANG KAU ANGKAT KAKI DARI SINI! DAN JANGAN LUPA BAWA ISTRI TERCINTAMU ITU! HARAM SETETES DARAH PUN KAU MENGINJAKKAN KAKIMU DI RUMAHKU! APA ANDA PAHAM TUAN?" deru napas Nara terasa lebih  cepat, kekecewaannya mengalahkan semua rasa sayang dalam dirinya.

Semua orang membeku mendengar penuturan yang sedikit arogan itu, mencerna apa yang Nara katakan. Ini bukanlah Nara Alexa yang mereka kenal. Sadar dengan penghinaan dirinya, sang ayah menarik pergelangan tangan istri dan anak tirinya untuk segera meninggalkan rumah mewah itu.

"Ayo sayang!  Lea, kita pergi dari sini! Dan kau Nara, anak yang tak tau diri. Ternyata benar buah jatuh tak jauh dari pohonnya, kau sama saja dengan bajingan desa itu. Akan ku pastikan kau akan membayar semuanya!"

"KELUAR" ucapnya dengan tegas.

Setelah kepergian sang ayah kaki Nara seakan mati rasa, lututnya dengan mulus menyentuh lantai dengan air mata yang sudah mengalir deras, tatapannya kosong, seakan tidak ada kehidupan lagi disana

Bintang dan Jihan yang tersadar segera memeluk Nara kuat. Hancur, hanya itu yang dapat mendefinisikan hati Nara saat ini. Bagaimana tidak, orang yang ia banggakan, orang yang seharusnya menjaga dia sudah pergi dengan memilih orang lain

"Apa gw tadi terlalu berlebihan?"

Jihan memeluk Nara dengan erat. "Ustt diamlah! Tenang kan diri lo dulu!"

Semua orang yang menyaksikan perdebatan itu menjadi saksi dimana Nara begitu hancur saat ini, ia menangis tersedu-sedu di dalam pelukan sahabatnya. Menangis pilu dengan segala isakan kepedihan, biarkan gadis itu meluapkan semua amarah dan rasa kecewanya.

Dirasa sudah sedikit tenang, Bintang dan Jihan melepas pelukan itu, menatap nanar mata Nara yang membengkak akibat menangis. Bibirnya terkatup seolah-olah gembok yang kehilangan kuncinya.

"Ayo gw antar ke kamar! lo butuh istirahat." Ucap Bintang yang membantu Jihan untuk segera memapah Nara kekamarnya.

Sesampainya dikamar, Nara terduduk lemas di tepi ranjang. Menatap kedua sahabatnya bergantian. "Bisa tinggalkan gw sendiri dulu?" Ucapnya lirih.

Jihan tampak ragu dengan permintaan Nara, ia takut Nara berbuat nekat seperti kejadian sebelumnya. "Tapi Ra!"

"Yasudah, nanti kalau lo ada perlu sesuatu panggil gua dibawah!" ucap Bintang lalu segera menarik Jihan untuk keluar dari kamar Nara

"Apa-apaan sih lo Bin? Nara itu lagi butuh kita" protes Jihan yang tak terima

"Biarkan Nara menenangkan dirinya dulu"

Jihan merotasi matanya malas, ia khawatir meninggalkan Nara dalam keadaan seperti ini sendiri. Namun ia juga sadar Nara butuh waktu untuk menenangkan dirinya.

Di sisi lain Nara sedang berusaha untuk mengendalikan dirinya, ia tidak boleh melakukan hal bodoh itu lagi, ia tidak boleh menyakiti dirinya lagi. 'ayo Nara! Lawan, lo pasti bisa!' monolognya.

"Maafkan Nara mah, apa Nara terlalu berlebihan kepada ayah? maafin Nara mah, Nara benci ayah." Sesal Nara yang sedang mengusap alus figura ditangannya, pelupuk mata sudah basah akan air mata. Ingin sekali ia berlari jauh dari dunia yang kejam, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia slalu kalah dengan keadaan. Semua pondasi yang sudah ia bangun dengan jerih payah hancur berkeping-keping. Persetanan dengan janjinya untuk tidak menyakiti diri sendiri lagi, sekarang ia sudah hilang kendali. Ia mengambil beberapa pil obat penenang yang sudah biasa ia konsumsi di nakas, salah satu tangannya masih setia memeluk figura itu dan satu tangan lagi berusaha membuka botol obat dengan tidak sabar.

Disaat ia sedang berusaha membuka botol obat, sekelebat bayangan ketika ia disiksa sang ayah muncul. Nara refleks menjatuhkan figura serta obat ditangannya, beralih menggenggam erat rambut coklat itu dengan berteriak kencang.

Bintang dan Jihan yang memang sengaja memantau Nara dari luar kamar mendengar teriakan itu beserta bunyi kaca pecah. Segera mengetuk pintu Nara untuk memastikan Nara baik-baik saja.

"Ra? Ada apa?" Tanya jihan sembari mengetuk pintu dengan ritme cepat.

"Percuma, tidak akan dibuka. Lo minggir dulu! Biar gw dobrak," sahut Bintang dari belakang. Jihan melangkah mundur untuk memberi ruang bagi Bintang mendobrak pintu. Satu, dua, brakkkk pintu itu terbuka lebar menampakkan sosok Nara dengan beberapa butir obat yang tergeletak di lantai. Bintang serta Jihan pun membolakan matanya melihat kondisi Nara

"NARAAAAAAA" Teriak Jihan

Sedangkan Bintang berlari kearah Nara, berusaha memegang tangan gadis itu yang sedari tadi menjambak rambutnya kasar. "Ra! tenang okey.  Gw disini." Bintang mengusap Alus tangan itu, merengkuh tubuh lelah gadis yang ia sayangi. 'Ra gw mohon bertahan, gw tau lo pasti bisa Nara,' batinnya.

"Gw benci menjadi lemah seperti ini, Bin," ucapnya lirih
 
"Lo ga lemah, coba untuk bertahan sedikit lagi Ra. Gw ada disini untuk lo." Sahut Jihan yang berjalan pelan ke arah Bintang dan Nara. Jujur hatinya sakit melihat Bintang memeluk Nara dengan begitu erat, namun saat ini hatinya bukanlah hal yang utama. Kondisi Nara lebih penting dari apapun.

RAIN NARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang