PtL (07)

850 109 14
                                    

"Halo, Mr. Marvolo. Maaf aku menghubungimu saat kau sibuk. Aku berterima kasih karena kau sudah bersedia meneken kontrak dengan perusahaan kami lagi," pemuda itu tampak hilir mudik gelisah dalam ruang kerjanya. Berbicara dengan fasih pada sosok di seberang telpon.

"It's okay, Mr. Kim. Aku senang bisa bekerjasama dengan perusahaanmu. Tentu saja, dengan perjanjian kita sebelumnya."

Park Jimin menggigit bibir bawahnya ragu. Ada sedikit bimbang menyerang saat ia ingin membahas soal apa yang dikatakan Chae Young pagi ini. Lantaran ia tak ingin terkesan plin-plan di hadapan relasinya itu. Pemuda itu lantas terkekeh gamang, "Ah, ya. Soal itu... Apa masih bisa kita bicarakan?"

Marvolo tak langsung menjawab, terdengar agak tersinggung dari desah napasnya.

"Maksudku, yah... saat ini aku sedang tidak memerlukan sponsor tetap, jadi aku mohon padamu untuk memaklumiku."

"Mr. Kim," nada suara Mr. Marvolo sangat dalam, membuat jemari Jimin nyaris tergelincir dari ponselnya, "Nona Park adalah relasi yang sangat baik. Dia membantu banyak hal untuk perusahaanku. Tentu saja, aku melakukan ini bukan untuk membalas jasanya. Akan tetapi, aku ingin menguntungkan perusahaanmu juga dengan potensi yang dimiliki oleh perusahaannya. Kau mengerti maksudku?"

Jimin menelan ludah, perutnya terasa panas, "Oh tentu saja, aku-aku berterima kasih atas kebaikanmu, Mrm Marvolo."

"Bagus," Mr. Marvolo terdengar puas, "Jadi sudah tidak ada yang perlu di ragukan lagi, bukan? Aku menunggu kerjasama denganmu, Mr. Kim. Aku tahu kau ahli dibidang ini."

"Baik, Mr. Marvolo. Sampai Jumpa."

Park Jimin meremas rambutnya frustasi setelah memutuskan sambungan telponnya. Ia menghenyakkan diri di kursi kerjanya  dengan helaan napas panjang. Memejamkan mata seraya menyandarkan kepala, kepala Jimin seraya berdenyut sakit.

Sekarang ia benar-benar buntu, tidak dapat menemukan jalan keluar untuk lepas dari gadis gila itu.

Saat itu sebuah kepala muncul dari balik pintu. Suara lembut terdengar yang lantas membuat Jimin terperanjat.

"Sayang?"

Park Jimin menoleh cepat, mendapati sang istri sudah berada di ambang pintu dengan nampan di tangan.

"Boleh aku masuk?"

Park Jimin menegakkan tubuh seraya tersenyum simpul menjawab pertanyaan sang isteri. Gadis berbalut piyama tidur satin berwarna biru langit itu mengayunkan langkah masuk, meletakkan nampan berisi susu dan kudapan ringan di meja kerja sang suami. Lantas ia duduk di tepian meja.

"Kenapa tampak gusar begitu? Ada yang mengganggu pikiranmu?" Tanya Jennie lembut, menyerahkan segelas susu hangat pada sang suami.

Park Jimin menerima itu dan lantas meneguknya dengan posisi bagaikan iklan di tv. Jennie terkadang merasa dirinya sangat beruntung memiliki suami dengan paket lengkap sekaligus. Kadang dirinya berkecil hati mengingat sebanyak apa mantan kekasih suaminya itu yang jauh lebih cantik darinya. Tetapi pemuda itu justru memilih dirinya sebagai isteri.

Jimin mengecap lidah seraya meletakkan gelas yang isinya tinggal setengah di meja, lalu tersenyum manis pada sang isteri mencoba menepis tuduhan yang di arahkan Jennie padanya. Gadis itu tidak perlu tahu soal masalah pekerjaannya. Jennie cenderung mudah cemas jika sesuatu terjadi terhadap Jimin. Terakhir kali Jennie demam saat perusahaan suaminya di boikot oleh perusahaan rival.

Jadi, mengusap pipi merona sang istri Jimin mengedip manja.

"Tidak ada apa-apa. Kenapa belum tidur?"

Permission to Love (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang