PtL (13)

1.1K 103 10
                                    

Mesin kopi menderu pelan. Aroma khas kopi luwak menyusup rongga hidungku.

Suasana pagi di kantor yang khas membuatku rindu masa-masa menjadi pegawai kantoran. Biasanya sebelum bekerja, aku dan teman-teman akan mengobrol sejenak. Menikmati cuitan burung yang hilir mudik di atas kafetaria terbuka di lantai paling atas gedung. Mengasingkan diri dari deru kesibukan pusat kota serta menyiapkan diri untuk memasang konsentrasi penuh pada pekerjaan.

Melelahkan, sekaligus menyenangkan. Tidak kuduga aku merindukannya disaat aku benar-benar mendapatkan kehidupan bak di khayangan.

"Ini kopi anda, nona."

Seorang officegirl memberikan cangkir dengan asap yang masih meliuk dari dalamnya. Menguarkan aroma kafein yang menenangkan jika dihirup dalam-dalam.

"Terima kasih," ujarku pada gadis yang sebelumnya pernah menjamuku di pertemuan pertama dengan menejer perusahaan ini.

Gadis itu lantas duduk di hadapanku dengan gestur ramah namun sopan.

"Kenapa anda memilih duduk disini alih-alih di ruang pertemuan? Disini kotor dan panas, nona."

Selagi menikmati sensasi hangat pada permukaan cangkir yang ku tangkup dengan kedua telapak tangan, tak lupa aku tersenyum simpul untuk merespon keramahan gadis bernama In Ha tersebut.

"Duduk di ruangan itu sendirian membuatku merasa seperti seorang murid yang menunggu detensi. Aku lebih suka duduk di ruangan kecil dan penuh. Rasanya seperti ada yang menemani."

"Apa anda merasa kesepian akhir-akhir ini?" In Ha membelotkan sebuah pertanyaan yang membuatku cukup stagnan. Membalas tatapan penuh prihatin yang ia lemparkan terhadapku, aku bahkan memilih untuk menutup mulut rapat-rapat.

"Tidak. Aku hanya teringat masa saat aku menjadi pegawai kantoran." kilahku cepat.

Kedua bola mata In Ha membulat sempurna dengan pekik keheranan yang tidak dapat di sembunyikan, "apa? Jadi anda bukan dari keluarga kaya raya atau semacamnya?"

Mataku spontan terlempar kepadanya. In Ha buru-buru memperbaiki kalimatnya dengan gestur canggung.

"Maaf, bukan begitu maksudku. Tapi, selama ini kukira istri tuan Park adalah seorang artis atau pemilik perusahaan tertentu juga. Maklum, dia begitu terkenal akan kesuksesan yang ia capai di usia yang cukup muda. Bukan hanya aku yang berpikir demikian, jika anda menjadi aku, mungkin prasangka kita tidak jauh berbeda."

Dari sini aku mulai memahami maksud In Ha. Cukup menggelitik hingga aku tidak dapat menahan kekehan. Seraut wajah gadis itu berubah menjadi ketakutan.

"Apa... Aku salah bicara?"

Buru-buru aku menahan cekikikan seraya melambaikan tangan.

"Tidak, maksudku... Yeah, jika aku berada di posisimu aku pasti bicara demikian."

In Ha tampak sedikit lega. Itu tampak dari seraut wajahnya yang memerah.

"Aku sendiri tidak mengerti, dari sekian banyak kemungkinan, kenapa harus aku. Seperti yang kau bilang, suamiku adalah orang yang sukses. Jelas kehidupannya di penuhi kemewahan dan wanita cantik nan berpendidikan tinggi yang akan dengan senang hati menerima lamarannya." Mataku menyipit, memperhatikan wallpaper dinding yang sedikit terkelupas disana sembari menimang sebuah pernyataan yang tepat.

"Tetapi, kenapa harus aku?"

Aku mulai meragukan kutipanku sendiri. In Ha benar. Dari sekian banyak gadis dengan standart dan level yang sama dengannya, kenapa harus aku? Gadis yang berasal dari keluarga biasa dengan pendidikan minim. Aku bahkan sempat mempercayai cinta yang Jimin ungkapkan selama ini sebagai dasar pilihannya terhadapku. Tetapi sekali lagi, benarkah itu?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 05, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Permission to Love (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang