Now. - Letters

16 3 0
                                    

Berdiri disini meratapi sebuah akhir membuat diriku terjebak dalam situasi yang menyulitkan.

Kau pasti kesepian kan, Akira?
Sulit untuk meninggalkanmu sendiri disini.

Ah, sialan! Aku pasti pria yang egois kan? Aku sungguh menyesalinya.

Aku berharap kau dapat menemukan kehidupan barumu di dunia sana. Dunia yang benar-benar istimewa dibanding dunia nyata.

Walaupun kau sudah tak bisa di sisiku lagi sebagai pasangan, tetapi jiwamu selalu ada di hatiku sebagai cahaya harapan.

Akhir yang seperti ini, Amaranth itu pasti tak akan layu begitu saja kan?

Ironinya, Aster amellus itu menjadi kenyataan di akhir kisah kita. Ucapanmu waktu itu benar, aku saja yang tak bisa terima dengan kenyataan.

Sungguh pria yang egois! Tak tahu diri, selalu menyulitkan orang lain! Benar begitu?

Akan tetapi, aku benar-benar selalu mencintaimu! Aku bersungguh-sungguh.

Lautan hitam disini masih menunggumu. Mereka belum bisa meninggalkanmu. Kupastikan, yang terakhir pergi adalah diriku. Aku lah yang berada di sisimu paling akhir.

"Juunichi, ini surat dari Akira untukmu. Terima kasih sudah menemani Akira selama 2 tahun ini. Keluarga Hinakawa sangat berterima kasih kepadamu."

"Iya, sama-sama. Saya berharap anda dan semua kerabat bisa tabah dengan ini semua."

"Satu lagi, ini berisi benda peninggalan Akira. Dia ingin kau menjaganya."

"Iya."

Kau lihat, Akira? Kau memberikan pesan terakhirmu dan benda peninggalanmu kepadaku. Pada akhirnya, hidupmu sudah bisa tenang kan? Atau belum? Apa karena aku belum membacanya?

Baiklah, kubaca sekarang.

Untukmu yang istimewa di hidupku,
Juunichi Sora.

Penyendiri, pendiam, baik hati dan tangguh. Jujur dariku tentang dirimu.

Pertama, aku sungguh berterima kasih kepadamu. Menjadi kekasihmu adalah suatu kebanggaan dan kebahagiaan bagiku.

Lalu, aku ingat betul pertemuan pertama kita. Berawal dari status senior dan junior. Aku juga ingat saat kau membantuku untuk pertama kalinya. Waktu itu, aku benar-benar senang.

Sebagai junior yang kikuk dan emosional, kau selalu sabar dengan sikapku. Berada di klub yang sama denganmu menjadi takdir awal kisah kita.

Mungkin, aku akan jujur. Disaat itulah aku mulai menyukai Juunichi Sora.

"Sungguh? Seleramu cukup aneh, Akira." gumamku.

Selalu mencari cara agar aku bisa dekat denganmu. Namun, itu cukup sulit karena sikapmu yang penyendiri itu.

Bagaimana membuat seorang penyendiri itu takluk? Ya, aku sempat berpikir seperti itu. Jadi, kuputuskan untuk selalu meminta bantuanmu. Selalu, selalu dan selalu.

Kubulatkan tekad untuk menyatakan perasaanku. Namun, aku merasa takut akan penolakanmu. Tapi, itu bukanlah masalah bagiku.

Saat itu pasti terlihat cukup aneh. Diriku sangat berani menyukai seorang senior. Padahal belum terlalu kenal. Untuk yang itu, aku minta maaf.

Pada akhirnya, aku sangat senang karena kau menerimaku sebagai pasanganmu. Aku sangat berterima kasih untuk itu.

Kedua, maaf. Aku sempat shock dengan keputusanmu untuk bunuh diri. Kau pasti merasa kalau akhir-akhir ini aku sangat emosional kan?

Aku juga merasa demikian, mentalku cukup terguncang dan sebenarnya aku sama sekali belum bisa menerima kenyaataan. Sekali lagi, maaf.

Aku sungguh menyesal memberimu pilihan pada waktu itu. Aku tak ingin ditinggalkan olehmu dan juga aku tak ingin kau mati. Tolong maafkan aku, Sora.

"Aku tak pernah menyalahkanmu, Akira." gumamku.

Ketiga, jagalah barang yang kuberikan padamu. Bayangkan itu adalah diriku ya. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan, Sora.

Hanya tenggelam dan diam di dasar laut kesedihan hanya membuatmu tak berdaya.

Mungkin, aku tak bisa didekatmu lagi
Namun, aku masih bisa mengawasimu dari sini.

Tolong, jangan lupakan aku ya?
Setidaknya, sedikit saja pun tak apa.

Terima kasih,
Hinakawa Akira.

"Sudah berakhir ya?"

Suara yang tampak familiar menceletuk dari arah belakang. Lalu, aku menoleh sembari menjawab.

"Iya."

Ternyata dia adalah Mirai Yuna. Gadis yang pernah menyukaiku waktu SMA. Dia datang ke pemakaman karena keluarga Mirai kemungkinan memiliki relasi baik dengan keluarga Hinakawa. Jadi, begitulah.

Akan tetapi, Yuna tak tahu detail permasalahan kami. Mungkin, dia tak terlalu terkejut saat Akira sudah tiada. Lagipula, dia memandang Akira sebagai junior yang keras kepala.

Perselisihan cinta juga menjadi penyebabnya. Makanya dia mendatangiku sekarang ini. Mungkin, saat ini menjadi pembicaraan baru kami setelah sekian lama.

"Kukira kau tak akan datang."

"Aku hanya datang sebagai kerabat dan senior dari gadismu."

"Begitu ya? Terima kasih."

Kami mengobrol tentang keadaan Akira dan situasi sulit kami. Kupikir dengan operasi darurat, Akira bisa selamat. Tapi yang ada malah sebaliknya. Aku juga tak bisa menyangkal itu.

Obrolan singkat kami telah selesai. Satu per satu pelayat telah meninggalkan pemakaman. Yuna juga sudah pulang. Namun, aku masih berkabung disini karena kupastikan yang terakhir pergi adalah diriku.

Lalu, aku membuka amplop coklat yang cukup besar dan tebal.

Aku merogohnya dan ternyata isinya....

Kutitipkan ini padamu.

Ada cincin dan foto yang sempat kuberikan pada Akira di hari ulang tahunnya.

Tak hanya itu, ada satu barang yang benar-benar berharga baginya. Sungguh dia menitipkannya padaku?

Barang itu adalah buku diary.
Aku membaca isinya dengan sekilas. Penuh dengan coretan emosi disana. Bahagia, senang, sedih, semuanya ada disana.

Halaman paling akhir membuatku menitikkan air mata. Sedih setengah mati disaat aku mengingatnya kembali.

11 hari ini sungguh menyenangkan!
Sisanya aku tak tahu apakah aku masih bisa melanjutkannya bersama Sora.

Tinta merah ditorehkan di buku itu.

Terima kasih sudah menemaniku selama ini, Akira.

Aku menyayangimu.

Mulai sekarang, aku akan menanganinya sendiri.

Tetap awasi aku ya.

Aku pulang dulu.

"Farewell Akira!"




14 Days Left Before DiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang