✿ 16. Pisah

2.5K 295 10
                                    

Lenyap sudah, tak ada lagi kehangatan yang menyelimuti kediaman anggota geng Cagahan ini—yang bahkan mungkin julukan geng itu akan sirna sebentar lagi.

Sekembalinya Winter, Karina, dan Yeji ke rumah ternyata sudah didapati Ningning, Giselle, dan Lia. Perihal menyelamatkan diri, jangan lupa bagaimanapun mereka semua pernah hidup bebas berteman dengan lingkungan luar saat masih susah—menjadikan para perempuan ini mau tak mau belajar melawan untuk mempertahankan diri dari orang-orang jahat. Jadi, mereka mempersiapkan strategi juga didalam otaknya, hingga bisa lolos dari pria-pria iblis itu.

Keadaan rumah benar-benar dingin, tak ada yang ingin membuka suaranya. Apalagi Winter dan Ningning yang merupakan orang dibalik ini semua merasa takut dan tidak enak hati.

"Sa-saya mau pamit untuk pergi, terimakasih Kakak-kakak udah baik kasih pekerjaan ke saya—"

"Nggak ada niatan ngejelasin?" tanya Lia dingin, tak biasanya Lia yang bertutur lembut pada siapa saja itu menjadi dingin kepada Winter. Jelas ia kecewa.

"Nggak usah lah, ngapain sih. Udah jelas-jelas mereka nusuk kita dari belakang." sahut Karina ketus tanpa melihat Winter dan Ningning.

Tercabik-cabik sudah hati kedua gadis itu. Giselle pun juga enggan bersuara untuk Ningning dan juga enggsb menetralkan suasana.

"Iya, kayak lo yang nusuk gue juga!" celetuk Yeji yang ditujukan pada Karina.

"Sst! Selesain satu masalah dulu Yeji!" bentak Giselle.

"Udah udah, kalian kalau mau keluar silahkan sekarang, mau tutup pintu nih keburu mager." ketus Giselle kepada Winter dan Ningning, raut wajahnya tak bersahabat.

Saat Winter hendak bicara lagi, Karina, Lia, dan Yeji sudah beranjak duluan hendak menuju kamarnya. Namun sebelum itu, Yeji menepuk pelan pundak Winter dan berlalu.

Winter dan Ningning menangis dalam hening, mereka keluar dari rumah itu dengan keadaan hati tak baik-baik saja. Ningning yang tak diberi kesempatan berbicara oleh Giselle dan tak tahu hubungan mereka menjadi seperti apa, lalu Winter yang masih patah hati dengan diselesaikannya hubungan mereka oleh perempuan yang lebih tua.

Winter hanya melamun didalam mobil milik Ningning. Winter sudah putus asa pada hidupnya, benar-benar tak ada lagi harapan. Ia tak tahu sekarang tujuan hidupnya apa. Ketika masih dengan Karina, Winter merasa banyak hal yang harus ia lakukan kepada Karina dan itu menjadi tujuan hidupnya, namun bagaimana jika berakhir Karina memberi dinding penjarak lagi bagi mereka? Winter ingin sudahi semua ini saja rasanya.

"Win, lo tinggal di rumah gue dulu ya," ujar Ningning memecah keheningan.

Winter menatap Ningning sayu, "Lo gila? Gue nggak mau lo di omelin gara-gara ketahuan masih temenan sama gue, Ning."

"Gue nggak peduli Win, mereka yang nggak tahu lo sebenarnya kayak gimana. Mereka cuma judge lo dari luarnya aja dan gue harus lurusin itu." ucap Ningning bertekad.

Winter berdecak, "Ning, lo nggak boleh gitu! Lo harus bersyukur udah dipertemukan orangtua angkat yang baik kayak mereka. Lo nggak boleh kurang ajar Ning, turutin mereka, bahagiain mereka, perlihatkan kalau emang lo anak baik yang nggak bakal bikin mereka merasa kecewa udah nge-adopsi lo. Dan orangtua lo bener kok kalau latar belakang keluarga gue kan emang kacau. Mereka khawatir sama lo, mereka mau yang terbaik untuk lo."

"Tapi tetep aja Winter ya Winter, lo beda sama orangtua lo Win. Lo itu sahabat gue yang paling baik Win, demi apapun gue nggak hiperbola dah. Lo dulu banyak bantu gue, dan sekarang gantian gue yang ngebantu lo."

Winter merasa terharu, setidaknya dirinya masih punya Ningning, "Kalau lo mau bantu gue, jangan ngelawan orangtua lo Ning. Gue bisa tinggal dimana aja, gue bisa balik ke gudang yang dulu, bodoamat lah gue ketemu sama bajingan itu lagi—gue pasrah."

Maid | WinRinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang