16. Menahan

5 3 0
                                    

Typo bertebaran~~

+++

Wajah babak belur, sakitnya bukan main. Saat ini Sean berada di ruang konseling di marahi seorang guru tentang norma susila atas kelakuannya yang biadab. Guru itu meminta wali Sean untuk datang. Dengan senyum mengejek Sean mengatakan jika ibunya sekarang berada di luar negri dan cowok itu hanya tinggal sendiri. Miris memang.

Dan seolah kesabaran guru itu habis. Sean di beri hukuman skorsing selama seminggu. Kecewa? Tentu tidak cowok itu malah senang. Bahkan memberikan senyum ejekan sebelum pergi dari ruangan.

Satu hal yang hanya membuat Sean miris, Elsa tidak membelanya ataupun melakukan sesuatu hal yang membuatnya tenang tapi malah membuatnya kesal. Bagaimana tidak kesal jika mantanya itu malah merawat Rain di UKS. Apakah dia tidak melihat Sean juga terluka? Walaupun tidak terlalu parah.

Kakinya terseret geram. Melihat tong sampah Sean menendangnya hingga berserakan. Murid-murid yang melihatnya kaget menghindar takut melihat Sean yang memiliki aura gelap.

“Lo mau kemana?” Seorang merangkul lehernya. Justin mengumpat saat Sean meninju perutnya. Menahan rasa sakit cowok itu berbisik.“ Lo gak bakal buat hal yang aneh-aneh kan?”

Ternyata Justin sudah tau kegilaan Sean. Bagaimana tidak? topik perkelahian dia dan Rain bahkan jadi tontonan.

“Kalo Lo halangin gue. Besok Lo cuma tinggal nyawa.” Sean mendesis.

“ Dan biarin Lo buat kegaduhan lagi dan masalahnya tetap sama yaitu Elsa? Lo tau kan cewek bukan cuma dia doang.” Justin mengeluh. Lengan tangannya yang putih mulus tampak memerah. Sean benar-benar kesurupan. Sebagai anggota Osis melakukan tindakan pencegahan adalah tanggung jawab. Cowok itu juga diminta Meolinia untuk menjaganya sebelum melihat nyokap Sean membawa koper menuju ke bandara. Nyusahin, tapi apa boleh buat. Teman segila yang di anggap Justin cuma Sean doang. “ Lo harus tenang dulu. Bukan kayak preman aja yang gak punya otak main rebutan apalagi soal betina.”

“ Masih banyak cewek yang muja di bawah kaki lo.”Sean tidak menjawab. Cowok itu hanya menyikut perut Justin. Dan berakhir dengan makian ketika cekalan di lehernya terlepas.

Meludah di bawah kakinya melihat liurnya bercampur darah. Sudut bibirnya sobek. Melangkah lurus kedepan.

“Lo mau kemana?” Justin mengejar. “ kalau pulang biar gue antar. Gue takut Lo nabrak apa mungkin nanti dijalan–” Justin yang di tatap tajam tidak peduli. Cowok itu malah menatap Sean dan meringis ketika lebam tercetak disana.“ – apapun bisa jadi selain tiang lebih buruk mungkin ughh....wajah Lo kayak peyek.”

Kemudian tergelak menghindar ketika kepalan Sean hampir menabrak wajahnya. Si kingkong udah marah berat. Cowok itu mengelus dada.

Justin masih bersiul.“ sebelum adegan pembantaian antara Lo sama rain ada suasana bagus di kelas. Lo gak mau tau?” Sean nampak tidak peduli. Membuka pintu mobil. Tapi sebelum itu bahunya di tarik.“ biar gue yang nyetir.!!” kemudian seperti pasrah sama keadaan Sean berjalan dan membuka pintu di belakang. “ Heh emangnya gue sopir!!”

Tapi memang berusaha bersabar. Justin membiarkan. Mungkin saat melihat keadaan temannya tidak baik cowok itu menyerah.

+
+
+
+

Rain butuh banyak perhatian. Mungkin itu juga sebuah kesalahan. Dan rasa bersalah itu mendorong Elsa untuk memberi perhatian lebih sekaligus menjadi permintaan maaf yang begitu mendalam.

Perban dan segala bentuk olesan obat sudah di berikan tetapi cowok itu masih tidak sadarkan diri sampai menjelang sore.

Rasa risau itu menghilang ketika orang tua Rain menjemputnya. Membawa pulang sekaligus sebuah permintaan maaf terhadap mereka dengan begitu tulus.

Cacian atau cemoohan tidak masalah tapi malah sebaliknya. Kedua orang tua Rain tersenyum maklum dan berkata itu bukanlah kesalahannya karena sudah tau siapa yang membuat anaknya terluka begitu parah. Di akhiri kata sebelum pergi.“ pihak konseling sudah menghukumnya.”

Sekaligus tamparan tak kasat mata yang membuat Elsa tersadar akan bayangan sang mantan. Dengan tubuh bergetar cewek itu berlari hebat.

Melewati lorong kelas. Kemudian menuju tempat di mana sang mantan duduk di meja untuk belajar.

Melihat ruangan kelas sudah kosong dan hanya angin kehampaan yang datang. Ekor matanya tertuju melihat tas tergeletak dan dia tau itu milik siapa. Senyum kecil tercetak penuh harap. “ Ahirnya aku punya alasan untuk menemui dia.”

Dengan waktu setengah jam tepat di depan apartemen Sean degup jantung itu masih tertinggal. Elsa mengatur nafas pelan. Cewek itu tidak peduli meskipun sebentar lagi bakal di maki. Tangan bergetar itu menekan tombol pin. Rasa lega ketika pin angkanya masih sama.

Pintu terbuka. Sebelum masuk satu tangannya mecoba membersihkan bulir air pada kepalanya. Elsa berada di sini dengan nekat menerobos titik hujan tanpa payung, lalu dingin itu mulai terasa pada kulitnya.

Kakinya melepas sepatu dengan pelan. Meletakkannya di rak. Melihat sepatu serampangan Sean tergeletak di lantai dengan jarak kejauhan Elsa mengambilnya dan meletakkannya juga disamping sepatu–nya.

Cahaya ruangangan apartemen begitu remang dan berbau pengap. Lama tidak kemari tidak biasa Elsa melihat runganan Sean berantakan.

Kaleng jus di temukan banyak di satu titik ada juga bungkus kripik tidak ketinggalan, selimut awut-awutan dan lebih berbahaya ketika melihat kepingan kaca pecah yang tergeletak membisu dan tidak ada niatan untuk di bersihkan. Elsa memungut dan  mengumpulkan sampah itu kecuali selimut di jadikan satu pada kantung plastik sampah yang di ambilnya dari rak bawah dapur.

Kakinya berjalan pelan. Cewek itu meletakkan kantung plastik yang berisi perban beserta obat dan tas Sean di samping kamar.Ekor matanya melihat gundukan di kasur yang tertutup selimut. Dia tau Sean ada di sana tidak ingin melihat mungkin karena muak. Tapi bagi Elsa tidak masalah.

Cewek itu melanjutkan aktivitasnya seperti melipat selimut dan menatanya menjadi tumpukan agar terlihat rapi. Memasukkannya dalam lemari.

Baju yang juga berserakan berserta seragam tak ketinggalan. Cewek memasukkan semua ke mesin cuci dan membiarkan mesin yang bekerja.

Sambil menunggu juga, Elsa menuju kearah dapur. Membuka lemari es yang begitu dingin menerjang tubuhnya. Menahan suatu yang menggigil dalam tubuh matanya menjelajah.“ Enaknya aku masak apa ya untuk Sean.?”

“ Sejak kapan Lo masuk ke rumah gue?” Elsa menoleh melihat siapa yang berbicara cewek itu berdiri. “ Sean udah bangun.”

“Lo gak jawab pertanyaan gue. Kenapa Lo kemari.?”

Sudah biasa di tatap tajam. Elsa tak takut justru cewek itu terkekeh. “ sejak tadi.”Kemudian berjalan kearahnya. Menarik lengan Sean.
“ Biar Elsa obatin luka Sean.”

Lalu cowok itu menepis.“ Jangan sentuh gue!”

“ Ayo duduk.” cewek itu berbicara lirih. Suaranya seperti meminta.

Melihat Elsa yang seperti lelah, Sean terdiam. Memang dirinya hari ini membuat banyak masalah, Elsa bahkan tidak mengeluh ketika melihat apartemen Sean yang berantakan dan malah membersihkannya. 

Akhirnya Sean mencoba mengalah kali ini. Punggungnya di dorong Elsa untuk duduk di sofa berhadapan dengan televisi.

Sean melihat Elsa berlari menuju kamarnya, kemudian kembali dengan sekantung obat dan menghampirinya. “ Aku gak liat kucing Sean kemana?”

“ Kenapa tanya?” tanpa ekspresi cowok itu melihat dengan telatennya Elsa membuka segel perban dan  memotongnya. Juka gumpalan kapas dan Betadine merah di teteskan di sana.

“ udah lama aja Elsa gak liat.” lalu kapas itu menempel di sudut bibirnya dan terasa perih tapi anehnya Sean tidak menunjukkan ekspresi kesakitan, cowok itu hanya melihat Elsa yang cengengesan.“ Kamu kayaknya kuat.”

“Bukan berarti aku gak bisa sakit.” Sean melihat Elsa yang berkedip pelan. Tangannya terulur menyentuh pelipis dan poni Elsa yang sedikit basah dan mengusapnya.“ kamu harus tanggung jawab. Itu buat gue sakit dan gak tau cara ngobatinnya.”

“ Bagian mana?” bisik Elsa.

“ hati gue yang gak bisa Lo ngerti.!”

+++

TBC

My mantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang