7 • masih persepsi

336 81 65
                                    

__________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

__________

Hari demi hari berlalu. Mungkin sudah jalan seminggu lebih atau dua minggu? Caca tak tahu pasti sebab tahu-tahu sudah hari Senin lagi saja, Senin kedua dari minggu menjalani hari-hari sandiwara bersama Juna—sampai Bima saja sudah lelah menyuruhnya putus. Biasanya hari senin kalau masih di bangku sekolah, tubuhnya malas bangun pagi ke kamar mandi demi pergi ke tempat menuntut ilmu—sekolah. Ada apa di hari Senin? Upacara. Di bawah terik panas yang harus mendengarkan ocehan beserta petuah dari pembina upacara—baik itu kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan siapapun itu. Mau tak mau ritual Senin keramat itu harus diikuti sebagai bentuk patriotisme dan penghormatan pada para pahlawan yang berjuang memerdekakan bangsa kita—meski ada saja sebagian yang alergi Senin karena langganan masuk UKS. Sempat senang sudah masuk bangku kuliah tak ada namanya upacara di hari Senin, tapi nyatanya ritual itu dirindukan. Padahal dulu sangat dibenci. Makanya ada perumpamaan tak boleh terlalu benci, nanti jadi rindu. Tunggu, perumpamaan asal dari mana itu? Ya, iyakan saja kalau begitu.

Dua sejoli itu di mata orang lain apalagi mahasiswa yang berlalu-lalang di sekitaran Gedung FE mungkin mereka tampak selayaknya sepasang burung merpati dimabuk asmara. Tanpa mereka ketahui itu sekadar sandiwara guna membikin sebuah drama. Mereka seolah-olah khatam siapa dibalik dua helm yang menumpangi motor vespa merah. Kalau dengar sayup-sayup konversasi mereka pasti tak jauh seperti ini.

"Nanti mau aku jemput di mana? Jam berapa?"

Biasanya Caca jawab, "Di sini aja, nanti aku contact."

Namun, hari ini dia jawab, "Aku ada kelas yang digeser agak sore. Jadi, nggak apa-apa kalau kamu nggak jemput aku. Bisa pulang sendiri, kok."

Notabenenya Juna itu pacar—bohongan—tapi dia tetap tak mau merepotkannya. Dulu dengan Tio juga begitu. Caca pun tak berekspektasi lebih, jadi tak kecewa saat Juna mengiyakan dengan alasannya juga ada group project. Toh, mereka perlu batasan juga.

Caca tak ambil pusing. Saat di kampus, baik di kelas maupun di luar kelas dia lupa status kalau dia pacar—bohongan—nya Juna karena jarang bersama, kecuali berangkat bareng. Hambatannya tentu saja beda fakultas. Namun, kenapa dengan Tio meski berbeda fakultas kerap kali bertemu? Herannya, ketika sudah putus intensitas dari probabilitas bertemunya lebih tinggi daripada saat menjalin hubungan. Tuhan mau menunjukkan kalau mereka itu berjodoh atau membikin hatinya sakit?

Seperti kali ini saja saat memutuskan makan siang di kantin—alih-alih awalnya menunggu di kosan Yuna dulu sebelum kelas sore dimulai, tapi ternyata Yuna hanya bawa satu helm—ia harus makan siang satu meja dengan Tio. Mungkin bodohnya dia mau tergiur dengan traktiran Gideon sampai lupa kalau pria blasteran itu sobat dekat Tio. Rasanya kerongkongan Caca seret mau menelan makanan dan minuman juga. Sia-sia mencicipi hasil traktiran kalau tidak berselera.

"Kayaknya salah kita ikut si bule lokal," bisik Yuna mencoba berbisik sepelan mungkin.

Anggap saja Caca bodoh sebab tergiur dengan traktiran Gideon. Apalagi Yuna yang notabenenya anak kos, lumayan menghemat uang makan sekaligus uang jajan.

Sweet Plan [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang