___________
Terhitung hari ketiga, dua saudara Prastayadi masih tak mau memangkas disparitas. Suasana di rumah saja cukup sepi, tak ada saling adu argumen sama sekali yang biasanya memenuhi penjuru rumah. Terjadi konversasi saja sekadar gue berangkat ngampus atau mau makan apa? kalau tengah berdua, biasanya menyoal makan malam. Caca sudah mau bermalam di rumah kembali, tak enak menumpang di kamar kos Yuna secara percuma. Apalagi Yuna sendiri sibuk di UKM Modern Dance. Ya, begitulah ketertarikan demi mengasah bakat gadis Shintya itu di sana sejak mereka berada di tingkat satu dan tentu saja di sanalah awal kedekatannya dengan Haikal. Kalau Caca amati, agaknya hanya Kak Haikal yang menaruh asa. Hal itu kentara dari luapan afeksi yang nyalar ditunjukkan. Sayangnya, Yuna itu begitu dungu menyoal kisah romansanya sendiri. Dia seolah-olah tak tertarik sama sekali. Tidak peka, sepertinya cocok memvisualisasikan Ayuna Shintya kala berhadapan dengan pemuda Adhitama.
Kembali lagi pada Bima dan Caca. Keduanya masih tak mau memulai siapa dulu yang akan memangkas distansi dan membuang jauh egonya. Namun, keduanya itu memang sudah terlalap ego masing-masing.
"Kak Bima yang salah, dia yang mulai ngajak ribut dan malah enggak tahu kesalahan dia di mana."
"Caca yang salah, gue udah minta maaf malah ngajak perang dingin kayak gini lagi."
Ya, keduanya mempertahankan pendiriannya masing-masing. Agaknya mereka itu sebenarnya tengah membesar-besarkan hal yang seharusnya kecil dan mudah diselesaikan.
Lantas mereka hanya menetapkan pendirian yang sama; biarin, sampai mana dia kayak gitu? Gue cuma ikut permainannya aja.
Sebenarnya, semua ikut direpotkan juga akan problema dua kakak-beradik yang bebal ini. Yuna saja ikut pusing, tapi setidaknya ia sudah menjadi pendengar yang baik dan memberi masukan. Meski memang di telinga Caca masuk ke kuping kanan keluar dari kuping kiri. Ibarat dosen menjelaskan materi di kelas yang berujung kalau ujian, maka seni mengarang menjadi andalan.
Menyoal direpotkan, Juna yang menjadi salah satu alasan dari berbagai alasan perang dingin kakak-beradik itu pun ikut andil menengahi keduanya. Sekarang saja ia sigap memasang telinga mendengar segala ocehan Caca. Kendati memang mereka hanya pacaran karena sebuah rencana, yah, anggap saja kali ini ia bertindak seolah-olah seperti kekasih benaran atau paling tidak, anggap saja bentuk perhatian antara teman sedari kecil.
"Lo masih marahan sama abang lo?" tanya Juna sedikit agak berteriak karena tengah di perjalanan. Ya, karena seiring berjalannya waktu, antar-jemput Caca sudah menjadi rutinitas meski Juna sendiri tak ada kelas.
"Salah dia, kok."
Hening. Juna belum membalas, tampaknya ia tengah memilah padanan kalimat apa yang cocok. Takut-takut dia juga salah jawab dan berakhir ribut dengan Caca. Bukan karena ia tak dengar.
"Ca."
"Hm?"
"Mampir dulu di depan sana, yuk? Ada tukang sate Maranggi. Gue laper, suer."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Plan [OPEN PO]
Romance[COMPLETED] "Anggap aja kita lagi nerapin materi biologi di SMA dulu; simbiosis mutualisme. Lo bantu rencana gue, gue bantu rencana lo. Deal?" "Deal." Lazimnya manusia hanya berencana, sedangkan Tuhan berkehendak. Rencana Caca dan Juna memang menyim...