Waktu bergulir begitu cepatnya. Detik demi detik, menit demi menit dan jam demi jam terus berputar sesuai kodratnya.
Nisa duduk di tepian tempat tidurnya dengan wajah pucat, matanya yang bulat tampak sayu, memandang test pack dengan dua garis merah di tangan kanannya. Perlahan ia meremas perut yang kini hidup sebuah janin. Ada perasaan resah yang ia rasakan, bagaimana bila Iwan tahu, bagaimana kalau Ayah tahu, dan bagaimana tanggapan Fariz saat mengetahui apa yang terjadi?
Nisa mencoba meyakini diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia yakin Fariz akan bertanggung jawab, melihat rasa cinta yang selalu ia tunjukan, serta kuatnya persahabatan Fariz dengan Iwan.
Dengan keyakinan yang sudah bulat, Nisa meraih ponsel monofonik miliknya, menekan angka 1 dengan cukup lama, kemudian muncul nama Fariz. Cukup lama terdengar nada sambung di ujung telepon. Rasa cemas semakin mengusai Nisa.
'Klik' telepon diangkat.
"Riz, aku hamil!" ujar Nisa dengan air mata yang mulai tumpah.
Tidak tedengar jawaban apapun dari seberang telepon.
"Riz, tolong jawab! Aku butuh kamu saat ini!" Nisa terdengar frustasi.
Kembali tidak ada jawaban dari Fariz. Nisa histeris.
"FARIZ...!!!" Nisa berteriak. Air matanya tumpah, tanpa dapat terbendung lagi.
Tetap tidak ada jawaban dari Fariz. Suasana menjadi hening seketika. Keheningan yang membunuh.
Matahari bergerak perlahan, meninggalkan titik puncak panasnya. Langit biru terlihat sendu. Fariz menutup dan menaruh ponselnya, terduduk lesu di bangku meja belajarnya. Kabar yang ia dapat dari Nisa membuatnya terpekur penuh penyesalan dan rasa bersalah. Rasa bersalah kepada Nisa, kepada Iwan dan juga kepada Rommy. Teringat semua ucapannya kepada kedua sahabatnya, bahwa ia akan selalu menjaga Nisa. Namun semua hancur karena ia tak mampu mengendalikan dirinya.
Fariz memandangi buku diary dihadapannya. Ia membuka lembar demi lembar puisi yang ia tulis untuk Nisa. Puisi yang indah, tapi kini menjadi hambar karena sebuah kebodohan. Fariz menarik napas panjang dan bersandar pada bangku meja belajarnya. Menatap langit– langit kamar dan menggertakkan giginya, geram.
Rumah Nisa diliputi suasana dan kesunyian yang janggal. Iwan mulai khawatir dan curiga dengan kondisi Nisa, karena Nisa tak kunjung keluar dari kamarnya dan menampakkan diri, begitu pula yang dirasakan oleh Ayah Nisa. Mereka berdua berdiri di depan pintu kamar Nisa, mencoba mengetuk pintu kamar dan memanggil nama Nisa berulang kali. Namun tetap tak ada jawaban. Ayah Nisa menghela napas berat.
"Sudahlah Wan, biarkan adik kamu sendiri dulu. Mungkin dia lagi sakit, tidur dan tidak mau diganggu," ujar Ayah kepada Iwan.
Iwan hanya mengangguk lemah. Ayah Nisa meninggalkan Iwan. Iwan berjalan dan duduk di sofa ruang tengah. Berpikir keras, lalu meraih ponsel dari dalam saku celananya. Iwan menghubungi Fariz, tapi hanya voice mail yang menjawab teleponnya. Iwan semakin kalut, lalu berjalan menuju kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Kisah - Love, Hate & Friendship
Ficción General[ Complete] "PERSAHABATAN TAI!!!" teriak Iwan dengan penuh amarah. Ikrar Iwan, Fariz dan Rommy untuk menjadi sahabat selamanya, lebur terbakar di bawah langit senja berwarna kemerahan karena kebodohan yang dilakukan Fariz. Iwan meninggalkan ikatan y...