🌹21

2.1K 334 45
                                    

Mendekati hari perkiraan lahir, orang tua dari kedua belah pihak datang untuk menemani Kartika. Dan ia melahirkan sehari lebih cepat dari hari yang diperkirakan. Kemudian, karena kondisi, sayangnya Chandra tidak bisa mendampingi.

Meski sedih tapi Kartika tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak mungkin menyeret suaminya pulang. Selain jauh juga karena negara masih membutuhkannya. Ia hanya harus bersabar sedikit lagi.

Kartika yang sedikit merasa cemas akibat berjauhan dengan Chandra tidak menyangka ia harus melahirkan melalui prosedur operasi sesar disebabkan tensinya yang sempat naik sehingga dilakukan sesuai protokol preeklamsia karena jika tetap melahirkan normal, ditakutkan terjadi kejang saat mengejan. Tetapi ia tetap bersyukur bisa melewati semuanya dengan baik, bayinya yang berkelamin laki-laki terlahir ke dunia dengan selamat dan sehat. Ia memberikan nama Chandika Najandra Tamajaya yang berarti anak laki-laki permata abadi yang kuat dan menerangi hidup keluarga seperti bulan saat purnama. Ia selipkan nama Najandra yang berarti kuat karena selama dikandungan hingga lahir tanpa didampingi ayahnya. Sedang Chandika berarti anak lelaki penerang keluarganya tapi bisa juga dimaknai sebagai gabungan antara nama Chandra dan Kartika.

"Dipanggil apa?" tanya Chandra di seberang, ketika akhirnya bisa berkomunikasi lagi.

"Dika atau Andra?"

"Boleh."

"Terima kasih ya, Adek sudah berjuang."

Ucapan itu malah membuat Kartika menangis. Siapa mengira ia hamil dan melahirkan tanpa didampingi oleh suaminya. Kehamilan pertama, persalinan pertama, semua serba pertama. Rasa hati ingin mengeluh tetapi ia sudah menandatangani surat kesanggupan ketika menerima menjadi istri Chandra.

"Lho, kenapa? Ada sesuatu?" tanya Chandra panik.

Kartika yang kebetulan sedang sendirian karena ibunya tengah di kamar mandi segera meraih tisu di nakas dan membersit hidungnya. "Nggak. Cuma sedih aja. Maaf."

"Sungguh?" tanya Chandra tak percaya.

"Itu kangen Mas Chandra." Tiba-tiba seseorang menyeletuk.

Kartika mengangkat kepalanya kaget, ia tak menyadari sejak kapan ibunya ada di depannya.

"Kamu terlalu fokus sampai Ibu datang nggak sadar," goda Ratna membuat Kartika tersipu malu.

"Maaf ya, sabar sebentar lagi," kata Chandra setelah mendengar ucapan ibu mertuanya.

"Iya, maaf."

"Nggak apa," sahut Chandra lembut dan sabar. Sudah barang tentu ia pun rindu pada istrinya, terutama buah hatinya yang baru lahir. Suami mana yang tak ingin segera bertemu dan menemani istrinya melahirkan? Ayah mana yang tak ingin menggendong pertama kali putranya sebelum orang lain?

Tak lama kemudian Ratna mengambil alih ponsel putrinya karena menantunya mengubah panggilan menjadi model video agar bisa memperlihatkan rupa cucunya kepada sang ayah.

Seketika Chandra meneteskan air mata haru melihat bayi merah, putranya, darah dagingnya. Rasa hati ingin segera pulang tapi apa daya ibu Pertiwi masih membutuhkannya.

"Assalamu'alaikum, halo, Sayang?" sapa Chandra pada si kecil yang tengah tertidur tenang. "Anak ganteng Papa yang sholeh, sehat selalu ya, Nak? Yang rajin, baik dan jadi anak berbakti buat orang tua dan keluarga ya? Aamiin. Sebentar lagi Papa pulang. Sabar ya?"

Setelah puas mengamati putranya, Chandra berbicara kepada Ratna lalu kembali kepada istrinya.

Kartika sendiri merasa cukup lega bisa bicara lebih lama daripada biasanya dengan sang suami. Perasaannya perlahan menjadi jauh lebih baik dan tenang.

🍫🍫🍫

Betapa bahagianya Kartika ketika akhirnya bisa pulang ke rumah. Ia diizinkan untuk pulang ke rumah orang tuanya tetapi memilih tetap tinggal di asrama karena bagaimanapun merasa memiliki tanggung jawab terhadap ibu-ibu istri anggota kompinya. Selama dua minggu, orang tua kedua belah pihak menemaninya. Minggu pertama mertuanya, minggu kedua baru orang tuanya.

Ratna sendiri sebetulnya merasa tak tega melihat Kartika sendirian mengurus bayi tanpa suaminya tapi karena putrinya bersikeras meyakinkannya bahwa ia bisa, Ratna pun mengalah dan berjanji akan sering datang.

Kartika bohong jika merasa tidak sedih ditinggal pulang orang tuanya, ia sangat terbantu dengan adanya mereka tetapi ia ingin belajar mandiri. Saat ini ia masih satu kota dengan orang tuanya, bagaimana nanti? Bagaimana jika suaminya dimutasi di kota atau propinsi yang sangat jauh dari mereka?

Di satu sisi, ia tak bisa memungkiri kelegaan ibunya pulang. Bukan bermaksud durhaka, ia justru takut tidak bisa menahan emosi dalam bentuk apapun jika serumah dengan ibunya. Penyebabnya adalah pola pikir terkait ibu melahirkan dan asupan untuknya dan serta hal-hal lain yang terkait masih mengikuti cara pandang neneknya. Bukan ia sok modern tapi sudah banyak yang berubah salah satunya tidak memoles bedak di alat vital si bayi setelah pipis atau pup, makanan yang ia konsumsi jauh dari kata layak dan bergizi yang terkadang membuatnya tidak nafsu makan. Termasuk perawatan tali pusat yang saat ini tak perlu ditutup kasa karena beresiko infeksi sehingga saat ini justru dibuka biasa saja. Kalau masih basah boleh diberi betadin. Hal lain yang berbeda adalah cara bedong bayi kalau dulu rapat sekali bagai bungkus kado karena takut kaki berbentuk huruf O jika tidak diluruskan, maka sekarang dilonggarkan karena bentuk kaki tidak dipengaruhi oleh cara membedong.

"Aa jadi pulang tepat waktu kan?" tanya Kartika pada minggu ketiga ia pulang setelah melahirkan.

Chandra yang melakukan panggilan video tersenyum. "Aamiin, doanya saja."

Kartika terdiam sejenak. Kata lima menit menentukan segera muncul dalam benaknya. "Jaga diri, jangan lupa sholat."

"Pasti." Chandra mengangguk.

"Aman kan?"

"Aman." Chandra memberikan jempolnya untuk sang istri. Ia terdiam sesaat sebelum buka suara. "Uhm, soal Ibu, nanti kalau aku pulang, kita kasih pengertian sama-sama ya?" hiburnya.

"Alhamdulillah kalau aman. Iya, A. Aku udah kasih pengertian sebisaku. Setengah bisa dimengerti tapi setengahnya kayak berat nerima karena pengalamannya gitu dan baik-baik saja," kata Kartika.

"Sabar saja. Mama gimana?"

"Nggak terlalu ngatur sih. Ya mungkin karena Mama kader posyandu kali ya jadi infonya update. Ibu kan cuma ibu rumah tangga yang berdasarkan pengalaman dan ajaran Mbah."

"Atau Mama sungkan sama Ibu," sahut Chandra terkekeh. Sebab Mamanya adalah orang yang terbuka dan kalau sudah ada mau pasti maju terus."

Kartika otomatis tersenyum mendengarnya. "Aku beruntung punya mertua nggak banyak menuntut kayak Mama."

"Sama. Aku juga beruntung punya mertua seperti Ibu yang kalau aku datang dan tidur seharian nggak ngomel malah jadi seperti anak kesayangan."

Kartika spontan tertawa. "Ya lagian Aa pelor amat jadi orang."

Chandra mengedipkan sebelah matanya yang membuat Kartika pura-pura muntah kemudian keduanya tertawa bersama.

❤️❤️❤️

Dikit aja dulu, ntar ditambahin. Yang mau koreksi dipersilahkan 👍🏽👍🏽👍🏽

Ada yang kelupaan 🤣🤣🤣

Vote yuk buat panggilan si kecil:

Dika

Andra?

Sidoarjo, 05-09-2021

Kartika ChandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang