Kartika tak bisa menyembunyikan groginya. Apalagi ternyata Chandra tidak bisa mendampinginya. Ia betul-betul sendiri bertemu dengan kedua orang tua Chandra di restoran yang sama dengan saat ia bertemu Chandra pertama kalinya.
Perempuan berambut hitam lurus model bob sebahu yang sudah mulai dihiasi uban itu tersenyum lembut. Dari pengamatan Kartika, Chandra kloningan Mamanya versi lelaki. Sedangkan kulit Chandra menyerupai sang Papa yang kecokelatan berbeda dengan sang Mama yang kuning.
"Mbak Kartika nggak usah grogi. Tante nggak gigit lho. Apa karena Chandra nggak ada?" kata Sundari, Mama Chandra dengan ramah sembari menunggu makanan datang.
Begitu nama Chandra disebut, tiba-tiba Kartika tersipu. "Panggil saya Tika saja, Tante."
Sundari mengangguk. "Mbak Tika umur berapa sekarang?"
"Dua delapan, Tante," jawab Kartika tak bisa menyembunyikan kegugupannya.
Sundari mengangguk. "Katanya guru ya? Di mana?"
"Iya, Tante. Tutor di lembaga kursus untuk anak-anak sekolah," jawab Kartika disertai seulas senyum tipis.
Yayan, lelaki yang diperkenalkan sebagai Papa Chandra ini hanya diam memperhatikan dengan raut yang sulit ditebak. Tidak garang hanya mungkin lebih ke tipe yang tidak banyak omong? Mungkin seperti itu.
Papa Chandra memiliki perawakan rata-rata dengan rambut cepak. Pensiunan tentara juga dengan pangkat terakhir Peltu. Kartika agak takut padanya.
Sundari mengangguk. "Katanya menulis juga?"
"Iya, Tante."
"Pa?" panggil Sundari sembari menyenggol siku suaminya. "Jangan diam gitu ah, Mbak Tikanya takut itu."
Perkataannya membuat Kartika tersipu.
"Papa mau ngomong apa? Kan itu Mama sudah tanya. Masa tanya yang sudah ditanyakan lagi?" Ini kali kedua Yayan membuka suara setelah perkenalan awal tadi hanya saja kali ini mampu membuat Kartika kaget.
Sundari melirik suaminya. "Candaan Papa garing." Denhan ekspresi bersekongkol, ia menoleh pada Kartika. "Papanya Chandra suka garing gini deh."
"Canda apa? Kan benar?" Dengan ekspresi yang sama seperti sebelumnya, Yayan menyahuti istrinya.
Tak lama makan siang yang mereka pesan datang.
"Kita makan dulu," ajak Yayan.
Kalau Yayan makan dalam diam, Sundari sebaliknya. Ia lanjut mengajak Kartika ngobrol.
"Besok ikut ya ke nikahan sepupunya Chandra?" ajak Sundari.
"Eh, saya, Tante?" Kartika yang mulai rileks kembali tegang.
"Iya. Mumpung semua kumpul. Biar kenal. Biar nanti Tante sama Om yang ngomong ke Ayah sama Ibumu," bujuk Sundari.
"Saya?" Kartika bingung menjawab apa. Seperti buah simalakama. Kalau ikut ia masih sungkan dan takut tapi kalau menolak, kapan lagi bisa berkenalan dengan keluarga Chandra apalagi jika niat baik mereka untuk menikah adalah segera. Meskipun ia belum sepenuhnya mengiyakan lamaran Chandra waktu itu.
"Ada, Tante kok. Nggak apa meski Chandra nggak ada. Mau ya nemenin, Tante. Adek dan Aanya kebetulan nggak bisa ikut. Tante sama Om sendirian jadinya," kata Sundari masih berusaha membujuk Kartika.
Perlahan Kartika pun menganggukkan kepalanya setelah mempertimbangkan semuanya.
"Seharusnya Chandra sudah dari kemarin ngenalin Mbak Tika ke Tante. Bukan dari sekarang," omel Sundari yang membuat Kartika mendadak merasa deg-degan karena mengira Sundari kurang menyukainya. "Kalah cepat sama Papanya. Tante kasih tahu ya, kelihatannya pendiam garing gini, dulu waktu ngejar Tante beeeh ... tancap gas deh pokoknya," sambungnya ala ibu-ibu bergosip.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kartika Chandra
Ficción General"Berarti aku bukan Melati Pagar Bangsa tapi Mawar Penghias Taman?" -Kartika 🌹🌹🌹 Kartika, penulis amatir di salah satu platform terkenal, sebelumnya tak mengenal dunia militer sama sekali. Genre tulisannya pun murni percintaan biasa. Suatu hari ia...