Setelah honeyweek bukan honeymoon karena Chandra sibuk, itu pun hanya ke Batu, akhirnya tiba saatnya Kartika pindah ke asrama.
Kartika merasa gugup luar biasa. Ia bukan sedang tinggal di pemukiman biasa di mana sopan santun bertetangga dibutuhkan tetapi lebih daripada itu. Ada nama baik dan pekerjaan yang dipertaruhkan.
Namun Kartika merasa bersyukur dan beruntung, warga kompinya dan ibu Ketua juga pengurus lain sangat ramah dan menyambutnya dengan baik. Memberitahu segala sesuatu yang perlu diketahuinya sebelum perkenalan resmi di giat Persit.
"Kok ngelamun, Dek?" tanya Chandra. Malam ini adalah malam pertama mereka tinggal di asrama tanpa keluarga yang menginap untuk membantu pindahan.
Kartika yang tengah duduk bersandar di kasur menoleh. "Eh, nggak, cuma ... "
"Apa?" tanya Chandra sembari menyusul ke kasur.
Kartika tersenyum. "Nggak nyangka saja aku bisa nikah sama Aa. Nggak pakai lama juga."
Chandra duduk bersila dihadapan istrinya. "Kenapa harus lama? Niat baik harus disegerakan. Kenapa harus ditunda kalau memang sudah yakin? Perasaan bukan buat coba-coba. Penjajakan bisa dilakukan banyak cara bukan PHP."
Kartika mengangguk. "Iya sih. Cuma ya tetep aja nggak sangka. Nggak kepikiran juga nikah sama tentara."
Kartika belum merasakan suka duka sebenarnya sebagai pendamping abdi negara. Ia masih ditahap euforia sebagai pengantin baru. Belum melihat dan merasakan sendiri kisah-kisah romansa militer yang dibacanya di platform menulisnya.
Satu hal yang akhirnya diakuinya begitu masuk lingkungan militer, memang para tentara itu punya pesona sendiri membuat siapa pun ingin menjadi pendamping mereka meski kenyataannya tidaklah semudah yang ditampilkan. Jangankan level perwira, level tamtama pun harus siap lahir batin. Siap mandiri. Dan pernikahan bukan sekedar upacara pedang pora jika itu yang diincar. Sebab, mau pekerjaan apapun, semakin tinggi levelnya, semakin besar pula tanggung jawabnya. Pangkat bukanlah untuk pameran melainkan tanggung jawab.
Sejak Kartika mengatakan ya atas lamaran Chandra, sedikit banyak hidupnya berubah untuk mengimbangi posisi Chandra. Terutama etika dan tingkah laku harus dijaganya betul.
"Dan setelah nikah?" tanya Chandra sambil menatapnya intens.
"Jodoh," jawab Kartika pendek. Lalu ia pun merebahkan diri.
Chandra pun ikut merebahkan diri. Diliriknya jam dinding, sudah hampir tengah malam. Terus terang saja, badannya terasa lelah luar biasa tapi matanya entah mengapa sulit terpejam. Ingin minta pijat istrinya, ia masih belum tega.
"Yuk, tidur," ia tarik tubuh Kartika agar lebih mendekat padanya dan ia sendiri mencoba untuk memejamkan matanya.
Hanya saja, ketika dirasanya baru memejamkan kedua matanya, sayup-sayup didengarnya azan subuh berkumandang.
"Aa, bangun. Tumben keduluan azan?" terdengar suara Kartika seraya mengguncang pelan tubuh Chandra.
"Hem?" Hanya itu respon Chandra. Kedua matanya seperti diberi lem dan kepalanya ditindih batu. Berat. Sakit.
"Aa?"
"Kayaknya kepalaku sakit. Aku sholat di rumah saja," jawab Chandra dengan suara serak.
"Ya sudah, Aa kuat ke kamar mandi?"
Chandra tersenyum tipis. "Kuat."
"Aku buatin teh panas dulu, Aa siap-siap sholat." Kartika menyiapkan sajadah di lantai terlebih dahulu sebelum ke dapur.
Tak lama Chandra bangun dan menuju kamar mandi untuk wudu. Kemudian ia pun sholat berjemaah bersama Kartika pertama kalinya di rumah baru.
Usai sholat, Chandra meminum tehnya yang sudah hangat hingga setengah mug, lalu kembali tidur hingga waktunya menjelang sarapan tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kartika Chandra
Fiksi Umum"Berarti aku bukan Melati Pagar Bangsa tapi Mawar Penghias Taman?" -Kartika 🌹🌹🌹 Kartika, penulis amatir di salah satu platform terkenal, sebelumnya tak mengenal dunia militer sama sekali. Genre tulisannya pun murni percintaan biasa. Suatu hari ia...