9) Another time

46 12 3
                                    

Setelah menghabiskan waktu untuk makan dan bercanda serta mengenal satu sama lain, Tom Hiddleston pun mengantarkan kita pulang.

"Eh rumah ku ada di sekitar sini, belok kiri aja Tom" kata Brie kepada Tom Hiddleston.

Sehabis mengiyakan permintaan tersebut sampailah kita di rumah Brie Larson, karena waktu sudah agak sore dan besok masih harus ke lokasi syuting kita pun sepakat untuk langsung pulang ke rumah masing-masing saja.

"Terima kasih semuanya, jangan lupa besok ya masuk jangan sampe telat" kata Brie sambil mengayunkan tangannya sebagai tanda perpisahan.

Aku, Holland dan Hiddleston pun tersenyum. Kami semua pun mengucapkan terima kasih pada Brie.

"Terima Kasih juga Brie!" kata ku dengan nada agak keras.

Setelah semuanya mengucapkan salam, kita pun lanjut menaiki mobil yang dikendarai oleh Tom Hiddleston. Menikmati pemandangan selak beluk kota yang tak begitu indah adanya, terasa indah karena wangi angin sore serta lembutnya kemeja Tom Holland yang menempel pada pipiku.

"Jangan tidur nyet, dikit lagi nyampe" ucap Tom Holland kepada ku.

"Apaan dah berisik banget lu biarin napa sekali aja gini" protes ku.

"Heh emang ada aja deh alesan anak satu ini. Pinter banget nyari kesempatan"

Tak ada lagi keluh yang keluar dari bibir manis sang pemeran spiderman itu. Yang ada malah tangan pucatnya yang secara perlahan membelai rambutku seraya memainkannya. Gemas, adalah satu kata yang terpikir dalam kepala ku.

Aku memejamkan mata ku sebentar, berharap dapat terlelap dalam pangkuan sempit lelaki ini. Tangannya mengelus kepalaku sambil mengobrol dengan Tom Hiddleston. Hiruk pikuk sore tersebut terisi dengan kenyamanan dan kehangatan.

Beberapa menit kemudian aku merasa ada suara serta sentuhan lembut yang perlahan membangunkan ku.

"Bangun manis, udah sampe nih" kata seseorang yang sangat aku kenali suaranya.

Aksen Inggrisnya yang sangat gentle mengingatkan ku pada rumah yang tak pernah ku tinggali. Perasaan rumah yang bukan hanya menjadi tempat bertamu atau beradu, rumah yang telah lama menjadi saksi bertambahnya penderitaan seraya usiamu berkeluh namun tak pernah berkutik akan sepersekian kesahmu.

Suara yang familiar itu, suara dalam khas miliknya tersebut. Suara yang tiada tanding dalam pikiran ku, suara yang selalu mengisi hari-hari ku walau ada atau tidaknya presensi manusia itu dihadapan mataku.

Suara yang selalu membangkitkan serotonin ku secepat kilat jika aku mendengarnya, dimana saja dan kapan saja. Tak kusangka suara favoritku itu sedang membangunkan ku sambil menggunakan kata manis, bukan sembarang manis, kata manis yang disematkan pada diriku. Benarkah ia bilang begitu? Atau ini memang khayalan ku saja karena kebanyakan makan?

Sialnya itu benar adanya, lelaki bertubuh tinggi itu sedang membangunkanku. Dengan suara lembutnya ia mencoba menyalakan sistem otak ku yang sempat terhenti, sedangkan tangannya hanya mengusap kecil kepala ku.

Aku mencoba membuka mataku yang masih terasa agak berat. Mencoba mencari visual dari suara yang telah ku deteksi, aku melihat senyum yang terlukis di wajahnya.

"Hm udah sampe?" kata ku dengan nada mengantuk sambil mengucek mataku.

"Udah nih, ayo turun"

"Tom kemana?" tanyaku mencari keberadaan Holland.

"Udah turun duluan dia tadi"

"Lah anjir kenapa dia ga sekalian bangunin aku" kata ku agak kesal.

His Cup of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang