Tak bisa terelakkan

76 14 10
                                    


Kita selalu bisa menghindari masa lalu, sepahit apapun yang dirasakan. Tapi hanya butuh waktu untuk kenyataan pahit kembali datang.
~Retno~

Kedua mata bertemu di udara, menciptakan keheningan berujung canggung antara kedua pemilik pandangan.

"E-eh, kamu kan..." Mata sang detektif sedikit menyipit, ia terus mencoba mengingat paras dan wajah dari wanita didepannya itu. Tetapi sang wanita yang juga merasa akan sesuatu, langsung berkelit dan mencoba untuk mencairkan suasana yang begitu tegang di antara mereka.

"Kita pernah ketemu ya? Salah orang mungkin..." Ririn yang merasa canggung akan keadaan antara mereka, langsung membalikkan badan dan pergi.

"Hmmm, sepertinya saya harus pergi dulu. Jika dia sudah bangun, tolong hubungi saya di nomor ini. Izin pergi ya bu," ujarnya sembari menyerahkan kartu nama yang ia miliki dan pergi.

Sebelum ia keluar dari rumah sakit, ia langsung berbelok kearah kamar mandi untuk meregangkan tubuhnya serta membuang air seni yang tertumpuk di saat pagi hampir siang ini.

Tak berselang lama, iapun disapa oleh suara yang tak asing di telinganya. Ia adalah sang perawat, Ririn.

"Pak Aldo ya?" Seorang gadis menyapanya dengan pakaian perawatnya, yang tak lain dan tak bukan adalah Ririn yang merupakan perawat disana. Tetapi entah kenapa ia tidak dipanggil untuk bekerja.

"Iya, ada apa? Oh iya, kamu kok gak kerja sekarang? Kerja sana, jangan bolos shift buat ngobrolin hal yang gak penting sama saya, " ucap Aldo sembari melangkahkan kaki melewati bahu sang perawat. Dan saat itulah mulut sang perawat terbuka dan mengucapkan sesuatu yang membuat Retno terdiam

"Atau lebih baik saya panggil bapak... Retno, Retno Sevarius." Sontak Aldo langsung membekap mulut gadis itu dan memintanya untuk diam.

"Untuk apa? Untuk apa saya diam setelah tahu kelakuan adik bapak yang memang tak pantas." Tatapan matanya penuh dendam karena memang kelakukan adiknya, yaitu Terto

"Rin, tolong jangan bahas disini. Lebih baik kita keatas daripada pasien dan orang lain ngeliat kita." Dan Retno pun menyadari bahwa gadis dihadapannya adalah orang yang ia kenal.

"Oke, tapi kau harus menceritakan segalanya. Tanpa ada yang dikurang atau ditambahkan," ucapnya pelan.

"Ya, aku akan berkata jujur untuk sekarang ini." Dan kedua kaki merekapun menaiki tangga secara perlahan. Dan setelah beberapa saat, merekapun tiba di tempat teratas dari rumah sakit itu.

Diatas sana hanya ada kompressor pendingin ruangan dan lantai yang tak bisa dikatakan bersih, juga bekas-bekas puntung rokok yang berserakan.

"Ahhh... sudah lama aku gak kesini, kamu gimana kab-" Aldo menautkan tangannya diatas pembatas dengan kepala yang ia relaksasikan.

Tetapi Ririn yang tak sabaran, langsung memotong dan memintanya berbicara.

"Bang Aldo, cukup. Jangan basa-basi lagi, sekarang ceritain aku tentang si Terto."

"Oke, jadi gini... "

TINUNING TINUNING

"Sebentar, aku ngangkat telepon dulu. Kamu jangan pergi, oke?"

"Oke deh, tapi abang harus ceritain sama aku semuanya tanpa terkecuali. Aku gamau kita benci-bencian hanya karena perkara satu orang," lirihnya dengan air mata yang sedikit menetes di pelipur matanya.

"Iya cantikkk." Aldo perlahan pergi dan mencari ruang untuk mengangkat telefon itu.

"Halo."

"Halo pak, dia udah bangun. Kalau bapak mau ajak dia ngobrol dan nanya-nanya boleh. Tapi-"

"Oke, terimakasih mba informasinya." Iapun pergi meninggalkan Ririn yang masih termenung dengan bibir yang mengerut.

"Rin, aku ada urusan bentar. Kamu tunggu aja disini ya. " ujar Aldo sambil matanya mencari pintu dan menuruninya.

"Okeee, tapi jangan lama-lama ya bang."

Di lain tempat, tak terlalu jauh dari lantai yang dilangkahi Aldo. Gadis kecil itu perlahan bangun walau dengan mata mengerjap-ngerjap.

"Tapi-"

TUTTTTT... TUTTTT

"A-aku dimana? " tanya Nilam yang masih mencoba mencerna setiap kejadian yang dialami dan langsung memandang ke kanan dan kirinya.

"Tenang, kamu gak ada di tempat-tempat yang aneh. Kamu ada di rumah sakit, " ucap sang dokter sembari berjalan pelan kearah Nilam yang masih kebingungan.

"K-kok saya bisa disini ya bu? Tadi kan saya ada didepan apotek. Kenapa tiba-tiba udah ada disini? "Nilam masih kebingungan dengan segala hal yang terjadi, dan disaat ia kebingungan sang dokter pun beranjak pergi.

Ia termenung sebentar sambil memandangi jendela, terpampang begitu banyak bangunan dengan lautan langit biru yang masih baru memunculkan suryanya.

"Dik, minum dulu ini ya. Supaya kamu lebih rileks dan lebih tenang, jangan terlalu banyak mikir dan lebih baik sekarang kamu tidur dulu. Supaya-" Sang dokter kembali dengan segelas air minum yang tak terlalu hangat maupun dingin. Nilam pun menegakkan air minum dan merebahkan bahunya diatas kasur.

"Oh iya dok..." Nilam memandang kearah sang dokter dengan raut wajah yang lebih cerah.

"Kenapa dek? Ada yang mau tanyain?" Sang dokter pun bertanya balik dengan raut wajah yang sedikit diwarnai senyum manisnya.

"Aku mau nanya aja bu, apakah nenek saya dirawat juga di rumah sakit ini?" Nilam berbicara lagi, tetapi dengan gaya bahasa yang secara tiba-tiba berubah.

"Nenek adik namanya siapa? Ibu bisa tanya resepsionis terkait hal itu," Ujar Maria yang langsung mengambil catatan kecilnya untuk diingat.

"Nama nenek aku Angelina Serenoir Meral, dokter ke- "

CTAKK

"Eh, ibu kenapa? Kok pulpennya dijatuhin, Nilam ada salah kah bu?" Nilam merasa bahwa ada salah satu perkataannya yang membuat tangan sang dokter melepaskan pena yang diggenggam.

"Em...gapapa sih dek, ibu cuma kepikiran sesuatu aja." Sang dokterpun berjalan kearah pintu sembari pergi kearah pintu untuk bercengkrama sementara dengan resepsionis yang berada di tengah-tengah rumah sakit.

Di lain tempat, Aldo yang sedang menuruni tangga dikagetkan dengan seorang gadis yang duduk dipojokan dengan baju pasien yang menempel erat.

"D-dek, kamu...tersesat ya? Kamu kok bisa ada di-" Aldo menghampiri gadis itu sambil mencoba mencari identitas gadis itu, dan saat dibalik wajahnya yang penuh dengan darah dan bekas luka tusukan. Iapun berlari tunggang langgang dan mendarat diatas lantai rumah sakit yang dingin.

Orang-orang lain yang melihatnya memandang dengan tatapan sinis dan kembali melanjutkan aktivitas. Aldo yang merasa malu kemudian bangkit dari lantai dan mencari ruangan yang akan ia tuju.

"Dok, kabar dia gima-. ASTAGA, Kok bisa gini? Dan k-kamu kan..."

BRUKKKK

BERSAMBUNG

NilamWhere stories live. Discover now