"Belum bangun juga si Kia, Bu?" Tanya Kenzie sambil menutup pintu kamarnya yang bertepatan didepan ruang makan.
"Sudah, mungkin masih mandi" Jawab Ibu sambil menata makanan diatas meja makan yang dibantu oleh Mbok yang bekerja disana. Mendengar jawaban ibunya, Kenzie tersenyum tipis lalu menghampiri Ayahnya yang sedang membaca koran di Ruang Keluarga. Kenzie duduk diseberang sofa Ayahnya dan mengambil remote TV.
"Katanya ada klien yang tiba-tiba mengakhiri kontrak ya, Ken?" Tanya Ayah tanpa mengakhiri kontak mata dengan koran yang dibacanya.
" Iya Yah, Pak Ardi. Tiba-tiba mengakhiri kontrak, alasannya mau pensiun. Tapi, gak tau juga. Walaupun Pak Ardi gak bekerja sama kita, perusahaan tetap stabil." Jelas Kenzie.
"Baguslah, memang Pak Ardi dari dulu tidak menghasilkan apa-apa ke perusahaan kita. Malah sebaliknya, dia yang merasa diuntungkan. Gapapa, setidaknya perusahaan kita tidak dirugikan karena berakhirnya kontrak dengan Pak Ardi." Ucap ayah sambil menutup koran lalu beranjak dari sofa menuju ke Ruang Makan. "Ayo makan dulu" ajaknya kepada Kenzie. Mendengar ajakan Ayahnya, Kenzie ikut beranjak dan menuju ke ruang makan.
"Belum turun juga tuh anak?" Tanya Pak Adam kepada Istrinya yang sedang menuangkan nasi diatas piringnya.
"Belum, ntar juga turun" jawab Bu Ayu ke suaminya. Tidak menunggu lama, terdengar suara orang berjalan pincang turun dari tangga. Seorang wanita yang mengenakan rok levis sebetis dan Hoodie putih muncul dengan cengirannya.
"Selamat pagi semuaa" sapa Kia menuju ke tempat duduk disebelah Ibunya.
"Kenapa kamu, kok jalannya pincang gitu?" Tanya Ayah kepada Kia dengan tatapan khawatir.
"Tuh.. Ayah seharusnya tanya ke mas Kenzie. Gara-gara dia aku jadi pincang gini." Cercah Kia sambil melotot kearah Kenzie yang asyik mengunyah makanannya. Mendengar namanya dipanggil dalam percakapan pagi ini, ia pun menoleh kearah Kia.
"Lah kamu sendiri udah dikasih tahu suruh pakai sepatu gunung eh malah pakai sepatu boot, mau ke kebun atau ke gunung hahaha..." Jelas Kenzie tak terima disalahkan sama adiknya. Mendengar ucapan Kenzie, semua tertawa kecuali Kia yang menatap sinis kearah kakaknya. Bahkan Mbok yang berada di dapur sedang membersihkan peralatan ikut tertawa karena gurauan Kenzie.
"Iihh.. kan aku gak pernah hiking, jadi ya gak tau. Kata temenku gapapa kok pakai sepatu boots, jadi ya aku kira gapapa. Kalau gak gara-gara mas Kenzie maksa aku ikut hiking, aku gak bakal pincang dan pegel-pegel gini." Jawab Kia ngambek.
"Sudah-sudah, lagi makan kok ngobrol." Sahut Ibu merelai pertengkaran kecil antara Kia dan Kenzie. Masih dengan tatapan sinis, Kia mendengus kesal kearah Kenzie. Melihat sang Kakak yang masih tertawa cekikikan, membuat Kia geram. Seakan-akan apa yang dirasakan Kia saat ini adalah hal lucu. Karena hari ini ada jadwal kuliah pagi dan siang, terpaksa Kia sedikit mempercepat makanannya.
......
Pagi kali ini sangat buruk, perjalanan macet, tidak ada angin, dan polusi dimana-mana. Ini tidak sesuai dengan harapan Kia, ia berharap mengawali kuliah hari ini berjalan sesuai harapannya. Tidak ada polusi, perjalanan lancar, pagi yang menyejukkan itu sama sekali tidak ada. Begitulah hidup di ibu kota, ya Kia tinggal di kota Surabaya. Ibu kota dari Jawa Timur. Kota yang mengisi 4 tahun terakhir ini. Setelah pindah dari Jogja, Kia kembali ke kota dimana ia dilahirkan. Awalnya Kia sedikit takut untuk kembali, tapi karena pekerjaan Ayahnya yang tidak bisa ditinggal. Akhirnya seluruh keluarga ikut pindah, saat itu Kia masuk pendidikan tingkat SMA.
Kia memandang kearah luar dari jendela Bus yang membawanya menuju ke Kampus pagi ini. Karena Kia tidak bisa mengendarai kendaraan baik motor maupun mobil, dengan terpaksa ia selalu naik Bus saat kuliah atau keluar. Sebenarnya tidak terlalu buruk, hal ini sudah biasa semenjak SMA. Bahkan kedua orang tuanya menyuruh kedua kakak dan sopir dirumah untuk mengantar atau menjemput Kia saat sekolah. Tapi, Kia menolak tegas perintah Ayahnya. Bukan karena apa, Kia tidak ingin merepotkan orang lain karena dia. Seperti yang Kia bilang, ia tidak suka terlalu menonjol. Ia ingin menjadi anak yang sederhana, tidak ada keinginan menunjukkan bahwa ia dari kalangan terpandang. Dia hanya ingin hidup biasa saja, hanya biasa saja.
Sampai dia turun di pemberhentian bus tepat di samping pintu gerbang depan Kampus, seseorang memanggil namanya. Seorang perempuan yang lebih tinggi dari Kia, berambut panjang, dan memiliki senyuman manis tapi dibalik itu dia seorang kritikus yang cukup pedas saat mengkritik. Itulah sahabat Kia, namanya Bintan. Persahabatan ini berjalan sekitar 1 tahun, semenjak awal masuk kuliah. Dipertemukan ketika OSPEK yang sangat menyebalkan.
"Kiaaa.." teriak Bintan dari belakang Kia. Mendengar ia dipanggil, Kia reflex menoleh dan tersenyum kepada seseorang yang memanggil namanya. Bintan berlari menuju kearah Kia dan memeluknya. Karena saat libur kuliah, Bintan harus pergi ke Bali untuk mengunjungi neneknya yang sakit.
"Kangen banget pliss,,, padahal kita udah rencanain ketika liburan kemaren mau kemana aja. Sorry ya.. gak sesuai rencana." Ucapnya sedikit merengek manja di pelukan Kia.
"Iih.. gapapa kali, yang penting kamu udah jadi cucu yang baik hahaha..." ledek Kia sambil melepas pelukan Bintan. Mendengar ledekan Kia, Bintan cemberut kesal sambil menatap kearah Kia. "Haha.. becanda, I miss you too. Its okay, kita bisa bikin rencana lain kali kan?" ucap Kia sedikit menghibur Bintan.
"Oke, kali ini aku serius. Aku akan menulis dijadwal kalender ku, biar gak ada yang bisa mengacaukan lagi." Timpal Bintan serius.
Kia mengiyakan ucapan Bintan dengan anggukan dan senyuman gemas. Setelah mengakhiri percakapan dengan Bintan, Kia mengajaknya masuk untuk menuju kearah kelas pagi ini. Sedari tadi Kia berjalan, Bintan menyadari ada perubahan dengan Kia. Pandangan mata Bintan menuju kearah kaki Kia yang berjalan pincang.
"Bentar.. bentar.. kamu kenapa, Ki? Kok jalan pincang gini? Terjadi sesuatu?" Tanya Bintan khawatir melihat Kia berjalan pincang.
"Eh enggak... nanti aja aku ceritain, sekarang ayok ke kelas. Udah mau telat ini, daripada banyak tanya lebih baik gendong aku aja." Balas Kai sedikit mendorong Bintang agar mempercepat jalannya. Mendengar Kia menyinggung kelas pagi, sontak Bintan melihat jam tangan yang melingkar di tangannya dan berdecik kaget.
"Waduh.. iya iya sorry, cepet naik kepunggung ku." Sahut Bintan sambil jongkok didepan Kia.
Melihat sahabatnya yang baik ini, Kia tertawa dan menolak bantuannya. Kia sekedar bercanda. Tolakan yang Kia berikan, membuat Bintan menarik tangan Kia untuk mempercayainya kalau ia serius dengan pembicaraannya. Karena sifat memaksa yang dimiliki Bintan, Kia mengiyakan dan naik kepunggung Bintan. Seperti kalian tahu, perawakan Bintan lebih besar dari pada Kia, ia jago bela diri, dan sering berolahraga. Saat pertama kali bertemu sepertinya tinggi Bintan sekitar 170 cm., mungkin saja sekarang sudah 175 cm. Sedangkan tinggi Kia 162 cm, jadi ia terlihat mungil disebelah Bintan. Namun, bagi Bintan menggendong Kia itu tidak seberapa daripada beban hidupnya. Kata dia, sangat dramatis.
.
.
.
.
.
Silahkan dikomentari, agar saya tahu untuk berkembang kedepannya.
Beneran butuh kritikus saya.
w/NMJ
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan Kia
General FictionGadis keturunan Jawa tulen ini, sangat percaya bahwa rencana tuhan lebih baik daripada rencana-rencananya. Sekuat apapun usahanya, Tuhan akan mengembalikan ketempat semula yang sudah ditentukan. Itulah takdir, dia kira bertambah usia akan membuatnya...