• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Di bab ini kalian bebas mau menghujat Andres :(
Pernahkah kalian malas menanggapi sebuah pertanyaan yang berulang-ulang?Jujur saja, aku malas menanggapi sikap Andres yang seperti ini, sikapnya serupa sebuah pertanyaan yang tidak memiliki jawaban pasti. Hanya dapat diterka dan sewaktu-waktu berubah sesuai dengan kondisi situasi.
Saat dia menjawabku cepat dengan intonasi tinggi, itu membuat beberapa karyawan memusatkan perhatian pada kami. Aku pamit pulang karena risi dengan tatapan yang mereka berikan padaku, tidak lagi menghiraukan Andres yang masih mematung ketika kaget dengan jawabannya sendiri.
Rencana mengembalikan barang milik Andres selesai meski berujung tidak baik. Sejak semalam aku sudah merancang kata yang akan aku katakan padanya, mengatakan bahwa aku akan melupakannya dan melanjutkan hidupku ke arah lebih baik, tetapi semuanya sirna ketika ia justru membahas Andra. Aku tidak habis pikir dengannya.
"Maura tunggu!"
Tiba-tiba saja Andres mencekal tanganku dari belakang. Aku berbalik ketika ia terus menarik lenganku pelan.
"Kenapa, sih, Kak? Aku mau pergi main." Aku beralasan.
"Kamu beneran pacaran sama Andra?" tanyanya sarat akan keseriusan.
Aku mengerutkan kening sembari mencoba melepaskan cekalan Andres padaku. "Lepasin, Kak."
"Jawab dulu."
"Kenapa aku harus jawab pertanyaan Kakak? Emang itu penting buat Kakak?"
"Penting! Itu penting buat Kakak, Maura."
"Kakak ini kenapa, sih? Aku nggak paham sama sikap Kakak. Kenapa Kakak harus peduli sama siapa aku berhubungan? Kakak sendiri tahu siapa yang aku mau tapi Kakak milih pura-pura nggak peduli. Tapi sekarang. Apa maksudnya, Kak? Kakak maunya aku terus-terusan ngemis cinta Kakak gitu? Memang Kakak siapa?!"
Tepat aku menyelesaikan perkataanku, Andres melepaskan cekalannya. Ia menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya. Aku memperhatikan, wajahnya berubah pucat dengan keringat yang tiba-tiba saja mengalir deras di pelipisnya.
"Kak?" Aku mencoba memanggilnya.
"Kamu benar, Kakak bukan siapa-siapa," ucapnya parau. Tanpa menunggu jawabanku akan pernyataannya, Andres mencoba menetralkan napas yang semenit lalu kelimpungan ia lakukan. "Kakak bukan siapa-siapa dan nggak akan jadi siapa-siapa. Tapi ...."
"Ayah!"
Aku dan Andres kompak menoleh seketika saat suara bocah berusia sekitar empat tahun di gendongan seorang wanita berteriak. Awalnya, aku tidak begitu menghiraukan. Sampai Andres melambai pada anak itu kemudian tersenyum ketika meminta mereka masuk ke dalam coffeshop.
Tunggu dulu! Otakku hampir saja tidak dapat memproses kejadian yang baru saja aku dengan dan saksikan. Apa aku tidak salah dengar? Ayah? Kenapa Andres merespons ketika bocah itu berteriak memanggil ayahnya? Di mana ayahnya? Hanya ada aku dan Andres di sini.
Tanpa sadar air mataku menetes. Aku bahkan tidak berani menanyakan kejadian itu pada laki-laki yang tengah menatapku dengan waspada.
Aku bermimpi, 'kan? Bukan Andres yang dipanggil anak tadi dengan sebutan ayah, bukan?
"Maura, Kakak bisa jelasin ke kamu. Tapi tolong kamu tenang dulu."
Oksigen di sekitarku tiba-tiba saja lenyap. Aliran darah ke otakku seolah berhenti berjalan, kepalaku tiba-tiba pening. Penjelasan apa yang akan Andres katakan? Kalau selama ini penolakannya, semata karena ia sudah memiliki istri dan anak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretalove ✓
Roman d'amourDari semua yang laki-laki yang melintas dalam hidup Maura, bagian favoritnya adalah senyum seorang laki-laki berselempang tas kamera hitam. Namun, menunggu dua tahun kehadiran sosok yang tidak sengaja ia temui itu adalah hal yang sangat mustahil. S...