• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Sesuai janjinya, sore ketika selesai jam kuliah Sherly dan Andra datang ke rumah.
"Lo baik-baik aja, Ra?" tanya Sherly ketika duduk di sampingku dan melihat luka yang ada di lengan belakang. Aku mengulas senyum, lebih seperti berkata aku baik-baik saja tanpa bahasa verbal.
Kak Maudy membawakan air minum. Ia menatap Andra kemudian menyunggingkan senyum yang dibalas kelewat kaku oleh laki-laki yang sejak tadi tidak mengeluarkan suaranya itu.
"Ubay gimana kabarnya, Ndra?" Kak Maudy seperti biasa memulai percakapan, sikap yang selalu ia lakukan ketika temanku berkunjung.
"Baik, Kak." Suara Andra terdengar ragu. Ia menundukan kepalanya pelan ketika menjawab pertanyaan yang dilayangkan Kak Maudy.
"Sampein permintaan maaf Kakak buat Ubay, ya, Ndra."
Setelahnya Kak Maudy masuk ke dalam, memberikan waktu untuk aku, Sherly, dan Andra mengobrol. Selama beberapa menit, aku tidak membuka suara pada keduanya, Sherly dan Andra bahkan saling sikut seperti berdebat siapa yang harus membuka suara.
Jika boleh jujur aku takut, membayangkan apa yang ingin Andra katakan. Apakah ia akan bertanya kenapa kakaknya pulang dalam keadaan babak belur? Lalu jawaban apa yang beri ketika ini adalah masalah pribadi yang sama sekali Andra tidak tahu menahu.
Terlebih lagi Kak Maudy meminta maaf atas apa yang dialami Andres. Sudah pasti Andra akan berpikir aku penyebab kakaknya celaka, bukan?
"Ndra, ngomong!" Sherly berseru sebal.
"Iya, sebentar." Andra menghela napas. Mungkin ia belum menemukan kata yang cocok, karena aku lihat ia kembali menggaruk kepalanya dan menatap Sherly.
"Mau ngembaliin ini aja, sih, Ra." Andra menyodorkan sebuah papper bag kecil yang aku kenali. Ini papper bag yang tiga hari lalu aku berikan pada Andres, satu buah kamera mirrorless hitam dengan ketambahan sebuah flashdisk?
"Kenapa dikasih ke aku, Ndra? Ini bukan punya aku." Aku kembali menutup papper bag itu dan memberikannya lagi pada Andra. "Balikin aja, Ndra. Aku udah nggak mau berurusan sama barang ini lagi."
Aku tidak tahu. Bagaimana mendefinisikan perasaan yang aku rasakan saat ini. Namun, melihat benda itu membangkitkan kenanganku terhadap Andres. Harapanku pada sudah hancur dan itu sangat menyakitkan.
Andra tiba-tiba mengeluarkan sebuah laptop, membukanya buru-buru dan menyalakannya. Ia mendekat padaku--berjongkok di depan sofa--kemudian memperlihatkan layar empat belas inchi itu. Aku mengenali laptop ini, ia membuka salah satu folder dan menghapusnya begitu saja.
"Aku rasa Ubay nggak berhak simpan foto kamu lagi di laptopnya. Iya, kan?"
Aku tidak tahu alasan akan tindakan Andra melakukan itu. Ada banyak teka-teki yang disimpan rapi oleh Andres juga Andra yang membuatku bingung.
"Kamu tahu isi kamera itu, 'kan? Kamu boleh buang kamera itu kalau kamu udah nggak mau berurusan sama Ubay lagi, Ra." Andra menunduk di hadapanku, kata-katanya lebih seperti memohon di telingaku. "Kalau kamu benci sama dia, tolong cukup jauhin dia, Ra."
Aku baru pertama kali melihat Andra seemosional ini. Biasanya, ia hanya akan berkata datar tanpa ekspresi. Akan tetapi, kali ini ia seolah menutupi sesuatu di wajahnya. Ada apa dengan Andra? Juga, kenapa kata-kata Andra seolah mengatakan aku akan berbuat jahat pada Andres? Memangnya apa yang aku lakukan?
Andra buru-buru berdiri dan kembali ke sofa ketika terdengar suara salam dari luar. Itu Kak Nara yang baru saja pulang dari kantor bersama Kak Ervin dan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretalove ✓
RomanceDari semua yang laki-laki yang melintas dalam hidup Maura, bagian favoritnya adalah senyum seorang laki-laki berselempang tas kamera hitam. Namun, menunggu dua tahun kehadiran sosok yang tidak sengaja ia temui itu adalah hal yang sangat mustahil. S...