sᴇʙᴇʟᴀs

1.7K 271 26
                                    

• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •

Hingga sampai di rumah, baik aku atau pun Andres menolak untuk membuka suara lagi. Aku melempar tasku ke atas kasur dan merebahkan diri di sebelahnya.

Gue rasa kebaikan Kak Ubay semata-mata karena diminta Kak Nara deh. Secara mereka dekat sejak lama, dan Kak ubay nggak enak mau nolak apa yang diminta Kak Nara.

Sebaiknya lo minta Kak Nara untuk berhenti minta tolong dia.

Aku mengangguk sendirian ketika mengingat perkataan Sherly siang tadi. Sherly ada benarnya. Kebaikan Andres semata-mata karena ia memang orang yang baik, tanpa ada maksud khusus atau perasaan khusus.

Yang jadi masalah adalah, hatiku tidak mampu menerima perlakuan baik itu tanpa mengharapkan sesuatu. Katakanlah aku egois. Tetapi semakin aku berusaha menyangkal, semakin kuat rasa keinginan mengutarakan semua pada Andres.

Aku memukul keras kepalaku secara berulang sembari merapalkan kata 'bodoh' pada diriku sendiri.

Karena terlalu lama berpikir, aku tidak sadar bahwa seseorang sejak tadi menatapku dengan tatapan heran setelah mendapati aku yang tengah memukul kepala sendirian. Itu Kak Maudy yang datang bermaksud mengajakku berbelanja.

"Kamu kenapa, Ra?"

Aku segera membenarkan posisi dan duduk dengan tangan yang buru-buru merapikan rambut.

"Nggak. Nggak papa, 'kok, Kak. Cuma ... cuma pusing tugas-tugas kuliah aja," aku menjawab pertanyaan kakak disertai dengan senyuman agar ia tidak merasa khawatir.

"Kamu tahu? Ada banyak rasa penyesalan di dunia ini yang mungkin aja nggak kita nggak punya kesempatan untuk menebusnya." Kak Maudy duduk di sampingku setelah mengambil selimut di atas kasur dan memangkunya. "Kejujuran salah satunya. Apalagi kalo udah masalah hati. Kalo Kakak, sih, beruntung karena Kak Nara masih mau maafin kesalahan Kakak dan akhirnya kita bisa sama-sama sampe sekarang."

Aku tersenyum, menatap Kak Maudy yang mengusap perut buncitnya. Aku ikut membelai lembut perut besar itu, mencoba merasakan kehidupan lain yang akan segera datang.

"Suatu perasaan kalau banyak disimpan bukan malah bagus loh, Ra. Lebih baik kamu ungkapin."

Aku mengerutkan kening ketika Kak Maudy mengatakan hal tersebut. Pasalnya, tiba-tiba saja wanita yang tengah menunggu kelahiran anak pertamanya itu menatapku seolah dia tahu akan sesuatu. Namun, aku masih bungkam. Takut dengan apa yang aku pikirkan dan bagaimana dengan pandangan kakakku.

"Udah nggak usah kebanyakan mikir. Temenin Kakak belanja, yuk."

Siang ini aku menemani Kak Maudy berbelanja keperluan calon bayinya. Membeli kasur, beberapa baju dan perlengkapan mandi. Kakak memintaku memilihkan warna kuning dan biru sebagai warna netral untuk apa pun jenis kelamin si bayi. Ia memang memutuskan untuk tidak memberitahuku perihal jenis kelamin bayinya--tidak juga pada suaminya--katanya sebagai kejutan hadiah seharusnya itu menjadi rahasia. Tidak masalah, dia akan tetap menjadi keponakan pertama yang akan mengisi hari-hariku nanti.

"Maudy? Maura?" Aku menoleh, menatap Imel yang melebarkan senyum ketika tebakannya benar tentang identitas kami.

Kak Maudy yang sedang memilih kain pernel bayi berseru, memeluk Imel secara hati-hati agar tetap menjaga bayinya. Sepertinya Kak Maudy dekat sekali dengan saingan tidak langsungku ini.

Secretalove ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang