•sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ•
Ini adalah hari pertama aku berangkat kuliah dari rumah baru. Memang jaraknya tidak terlalu jauh jika dibandingkan rumah yang sebelumnya, tetapi tetap saja aku masih gagap dengan jalannya.
Ketika sampai di jalan raya, entah kenapa aku justru melangkah pada jalan tempat coffeshop milik Andres berada. Entahlah, rasanya hanya ingin melihat senyum itu pagi ini.
Alhasil di sinilah aku, di seberang jalan, tepat di depan coffeshop yang buka 24 jam. Banyak mahasiswa yang buru-buru masuk ke gedung universitas atau beberapa orang berseragam kantor keluar dari coffeshop dengan membawa satu kap kopi juga roti melenggang santai.
"Kalo ketemu atau papasan juga mau bilang apa, ya?"
Pertanyaan yang kuajukan pada diri sendiri itu jelas hanya dijawab oleh deru kendaraan yang lalu lalang di depanku. Akhirnya--setelah lama berpikir--aku putuskan untuk membeli satu gelas kopi sambil berharap akan mendapat bonus senyum Andres. Namun, hingga pesananku siap tidak ada tanda-tanda kehadirannya sama sekali.
Aku ambil kopi dingin yang tertera namaku pada gelas kapnya, meminta tambahan tissue pada penjaga counter kasir untuk lapisan gelas agar bertahan lama digenggaman hingga menuju kampus.
"Senang melayani Anda, semoga betah datang lagi, ya," ucap Andres yang baru saja melewati pintu kaca ketika aku baru saja ingin membukanya.
Kubalas candaanya dengan senyuman tipis kemudian bergeser sedikit untuk memberinya jalan. Namun, bukannya memasuki coffeshop miliknya, ia justru kembali keluar.
"Kamu mau berangkat kuliah?" tanya Andres ketika aku mengikutinya keluar dari coffeshop. Ia meregangkan lehernya sebentar kemudian berbalik ke arahku.
"Iya, Kak. Kenapa?"
"Nggak papa. Nanya doang."
Aku cemberut. Awalnya kupikir Andres akan menawarkan untuk mengantarku. Ternyata hanya sekadar ucapan basa-basi. "Aku kira Kak Ubay bakal nawarin mau nganter aku."
Aku hanya spontan mengatakan harapanku padanya. Meski sebetulnya aku menebak Andres kemungkinan lelah sehabis bekerja dengan sif malam, karena kulihat ia bukan orang yang seperti akan berangkat bekerja, melainkan seperti habis begadang.
"Ayo! Tapi naik motor nggak papa, ya? Soalnya kalo pagi jalanan macet."
"Ehh? Seriusan? Kakak bukannya baru sampe? Apa nggak ngerepotin?"
"Mau dianterin nggak?"
"Mau!"
Kata orang, kesempatan tidak akan datang dua kali, itulah yang membuatku memutuskan langsung menerima tawarannya. Masa bodo dengan sikap basa-basi.
Perjalanan dari coffeshop Andres ke kampus tidak begitu lama, kurang dari lima belas menit jika lalu lintas di Jalan Tendean padat dan untungnya hari ini sedang tidak padat, jadi kami sampai lebih cepat dari estimasi yang aku perkirakan.
Aku mendengarkan ketika Andres membagi sedikit cerita ketika di perjalanan. Meski harus mengencangkan suara karena suara bising motor, aku suka mendengar ceritanya. Sebagai seseorang yang bekerja di lapangan, ia punya banyak cerita menarik yang membuat kekagumanku semakin bertambah hingga tidak terasa motornya sudah memasuki area kampus.
"Berapa ongkosnya, Bang?" Aku berlagak merogoh kantong untuk mengambil uang yang akan kuberikan pada Andres.
"Sesuai aplikasi aja, Neng," balasnya seraya menerima helm yang kuberikan. Ia tertawa kemudian memutar motornya ke arah berlawanan dan pamit meninggalkan kampus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretalove ✓
RomansaDari semua yang laki-laki yang melintas dalam hidup Maura, bagian favoritnya adalah senyum seorang laki-laki berselempang tas kamera hitam. Namun, menunggu dua tahun kehadiran sosok yang tidak sengaja ia temui itu adalah hal yang sangat mustahil. S...