• sᴇᴄʀᴇᴛᴀʟᴏᴠᴇ •
Sebenarnya aku tidak suka jika harus pindah rumah. Jika kalian tanya kenapa? Karena di sinilah aku dilahirkan. Juga di sinilah tempat aku berharap sosoknya kembali muncul meski sudah dua tahun sejak kejadian itu dan dia menghilang entah ke mana.
"Emangnya mau sampai kapan sih, Ra?"
Sherly merebahkan dirinya pada kasur yang sudah tidak kuberi sprei, dia memang datang untuk membantu proses pindah rumah. Jujur saja, pertanyaan Sherly yang satu itu sudah sering dia tanyakan dan sampai sekarang aku belum juga mendapat jawabannya.
Dari sekian banyak orang yang kukenal. Hanya Sherly yang dapat aku percaya untuk mengetahui perihal eksistensi dirinya. Namun, bukannya membantu, Sherly justru sering berusaha membuat aku lupa akan sosok laki-laki berselempang tas hitam itu.
"Ra! Gimana kalo ternyata dia udah punya istri atau anak?" Sherly yang awalnya merebahkan diri tiba-tiba bangkit dan duduk di sampingku yang tengah melipat sisa pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Ia memejamkan mata sejenak karena terlalu terburu-buru bangun, sepertinya penyakit darah rendahnya kambuh lagi.
Aku hanya diam, tidak menjawab dugaan Sherly. Hatiku mencelos secara tiba-tiba. Tidak pernah sedikit pun aku membayangkan bahwa laki-laki itu sudah memiliki pasangan. Namun, pernyataan Sherly saat ini tanpa sadar membawa aku pada rasa sakit yang tidak bisa aku jelaskan kedatangannya.
Seharusnya--seperti biasa--ada satu atau dua kata yang bisa aku ucapkan untuk sekadar menyangkal dugaan Sherly, tetapi lidahku justru kelu. Bahkan, tanpa bisa dicegah air mata keluar dari kedua mataku. Sherly tersentak, kemudian memelukku erat hingga Kak Maudy datang membawakan camilan.
"Kamu nangis? Kamu nangis kenapa, Ra?" Kak Maudy mengusap air mata dari ujung kedua mataku. Aku menggeleng kemudian berusaha tersenyum untuk menjawab bahwa aku baik-baik saja.
"Ini, Kak. Sherly lagi cerita sedih. Aku, 'kan, baperan orangnya." Aku mencoba berbohong.
"Kirain kenapa." Kak Maudy menghela napas.
"Tapi beneran nggak apa, 'kan. Kalo kamu pindah ke rumah Kakak? Kasian Kak Nara kalo tinggal di sini, kejauhan sama kantor."
Aku mengangguk mendengar pertanyaan kakakku satu-satunya. Memang sudah dua tahun, semenjak kepergian orang tua kami, Kak Maudy dan Kak Nara—suaminya—tinggal bersamaku di rumah. Namun, tuntutan berangkat lebih pagi dan pulang lebih malam membuat Kak Nara kualahan dan akhirnya memutuskan untuk kami pindah ke rumah yang dibelinya—yang jaraknya lebih dekat.
Hari ini memang Sherly datang ke rumah untuk membantuku merapikan barang. Sebetulnya, aku masih berharap agar bisa lebih lama tinggal di sini. Menunggu, dengan harapan barangkali laki-laki itu akan datang berkunjung. Mungkin, ia salah satu murid ayah yang datang untuk melayat pada hari itu.
Tanpa sadar aku menampilkan senyum ketika melihat lembar foto anak kecil yang pernah dia berikan. Foto itu sudah usang, usianya lebih dari dua tahun sejak laki-laki yang tidak aku ketahui namanya itu memberikannya.
"Udah, Ra. Jangan galau mulu. Positif thinking aja, mungkin lo bakal dapet cowok yang bisa bikin lo lupain dia di daerah rumah baru nanti." Sherly berusaha membujuk. Aku meletakkan lembar foto anak kecil dengan permen loli itu di dalam buku kuliahku sebelum melanjutkan aktivitas mengemas barang.
"Ra, udah siap?"
Kak Nara tiba-tiba muncul, ia masuk dan mengangkat kardus besar yang berisi buku-buku juga peralatan kuliahku. "Kakak tunggu di luar. Kamu ikut juga, 'kan, Sherly? Kita nanti mampir ke coffeshop temen Kak Nara, kita minta kopi gratisan buat amunisi pindahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secretalove ✓
RomanceDari semua yang laki-laki yang melintas dalam hidup Maura, bagian favoritnya adalah senyum seorang laki-laki berselempang tas kamera hitam. Namun, menunggu dua tahun kehadiran sosok yang tidak sengaja ia temui itu adalah hal yang sangat mustahil. S...