Chapter 12

1.5K 65 2
                                    

Terakhir kali visualisasi sosoknya melesak menginvasi netra. Hayashi (Y/n) masih penuh akan rona kehidupan meski dingin sikapnya melebihi badai salju yang kerap terjadi di penghujung tahun. Menusuk hingga ke tulang manakala netranya jatuh pada sosok Giyuu.

Kala itu hanya berkisar antara beberapa bulan saja dari waktu yang berjalan saat ini. Pertemuan yang begitu mengesankan meski hanya ia saja yang beranggapan demikian.

Bertemu kembali setelah sekian lama berpisah tak ayal membuat pengelihatannya begitu jeli menelisik figura sang perempuan yang membuatnya merindu.

Pucat wajahnya semakin kentara tatkala sosoknya bersikeras untuk berlari kencang sembari memandu jalan. Gesit pergerakannya masihlah stabil sebagaimana mestinya seorang ahli berpedang seperti Hayashi (Y/n) yang mampu mengendalikan tubuh dikala keadaan tengah tidak memungkinkan tuk tetap menegakkan tubuh.

Segala macam pergerakan serta komando strategi yang dijabarkan tak luput dari pandangan Giyuu yang masih terkesima akan eksistensinya yang menjadi buah pikiran. Sampai dimana Iguro Obanai yang menyadari gerak gerik bodoh orang kasmaran berdecak keras. Menyadarkan Giyuu dari keasyikan dunianya sendiri.

"Akh!"

Pergerakan kakinya sontak terhenti, dan secara tangannya refleks bergerak menahan tubuh (Y/n) yang tiba-tiba saja limbung. Desisan menahan sakit dengan urat-urat menonjol yang menghiasi pelipisnya membuat Giyuu semakin menaruhkan Sorot mata yang kelewat panik.

"Aku menginjak ranting berduri." Ungkapnya dalam satu tarikan napas.

Giyuu sontak menoleh pada kaki telanjang (Y/n) yang kini telah bersimbah darah cukup banyak. Setidaknya beberapa jejak langkah dibelakang telah tercetak darah. Giyuu menggigit bibirnya resah. Di liriknya Shinazugawa Sanemi yang ia bopoh dipundak, sang pilar angin sama sekali tidak menunjukkan pertanda akan sadar. Dan keadaan perempuan Hayashi itu sangat tidak memungkinkan untuk dibiarkan kembali melangkahkan kaki lebih lanjut.

Diliriknya Uzui Tengen yang mengerjap bingung, lalu Giyuu berujar, "(Y/n) terluka, dia tidak mungkin bisa melanjutkan perjalanan dengan membawa diri dalam keadaan yang riskan seperti ini."

Sungguh berbeda dengan prespektif Hayashi [Y/n] yang masih merasa sanggup untuk meneruskan langkah. Bagi seorang ahli berpedang, luka semacam ini tidak ada apa-apanya ketimbang pelatihan kekebalan tubuh terhadap tusukan bilah tajam.

Sementara itu, Pria bertubuh kekar itu seolah mengerti, Tengen mengangguk perlahan sebelum melangkah maju, yang Giyuu salah tanggapi sebab sosoknya malah berjongkok di depan (Y/n) yang tengah tergugu menyaksikan kesigapan seorang pilar angin.

"Naiklah."

Mata safirnya memicing, "Bukan, Uzui-san. Kau cukuplah membawa Shinazugawa saja."

Butuh waktu yang cukup lama bagi Tengen untuk mengembalikan rasionalitas sebab terjebak di antara kedisorientasian akibat penuturan Giyuu yang memiliki siratan. Well, Tengen cukup terkejut.

Sejenak, ia tertawa sebelum mengangguk mengiyakan, "Serahkan padaku." Ucapnya sambil menepuk dada bangga. Ia menjilat bibirnya, siapa sangka akhirnya Tengen mampu menyaksikan kehidupan romansa si air asam secara langsung. 

Giyuu menyerahkan Sanemi dengan cepat—dengan posisi yang benar-benar memberatkan Tengen untuk kembali menahan posisi tubuh agar tidak terjatuh. Ia menggeram kesal.

"Dasar perjaka sinting."

Sebetulnya, Giyuu merasa dejavu dengan ucapan Tengen, mengingatkannya pada saat pertemuannya dengan (Y/n) malam itu. Namun tidak ada waktu untuk bernostalgia meski rasanya masihlah sama.

𝐓𝐡𝐚𝐭 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang