Chapter 6

1.2K 114 5
                                    

═════════════════
𝐋𝐨𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐠𝐚𝐦𝐞
═════════════════

Wanita berambut putih itu selalu unggul dalam taruhan. Dia begitu lihai untuk memperdaya, bahkan (Y/n) mengakuinya. Dan karena hal itulah Mai selalu memenangkan sebuah permainan penjebak yang ia rancang. Dia tidak pernah gagal-tadinya.

Pada umumnya lawan berjudi akan menatapnya secara terang-terangan, memperlihatkan tatapan memuja ketika disuguhkan pemandangan yang menarik, tubuh molek dan wajah elok-siapa yang akan menyia-nyiakan kesempatan emas seperti ini. Mungkin Uzui Tengen bukan salah satu dari sekian banyak lelaki mesum, atapun dia sudah menyadari cara bermain Mai.

Pria itu benar-benar menghindari kontak mata dengan Mai, (Y/n) menyadari hal tersebut tatkala mata Tengen terlihat fokus pada beberapa kartu yang berada di genggaman tangan Mai. Dia mencari celah di tengah kelalaian Mai yang selalu menatap wajah rupawan miliknya. Berharap kedua pasang iris mata yang berbeda warna itu bertemu agar sang wanita akan mengembalikan keadaan.

(Y/n) menyayangkan sifatnya yang terlalu optimis. Mereka kalah telak. Tidak seharusnya mereka memperdaya Shinobi sekelas Uzui. Levelnya jauh berbeda.

"Benar-benar memalukan, karena kecerobohan mu aku harus turut serta kedalam drama tidak bermutu ini. Seharusnya kau saja yang terjebak."

Reaksi mereka berlawanan. Mai justru terlihat sangat senang dan merasa puas dengan posisinya saat ini.

"Kau ini, apakah kau memiliki ketakutan berlebih terhadap laki-laki? Menjadi seorang istri adalah jalan terakhir yang harus ditempuh oleh setiap wanita. Lagipula jika aku dan Tengen bersama, aku akan mendapatkan keuntungan yang berlipat, tidak ada perjodohan kolot antar sesama orang busuk."

Si idiot ini tidak tahu saja tentang kehidupan seorang shinobi yang terlahir dari klan terakhir. (Y/n) menghela napas pendek. "Apapun pilihanmu, kuharap kau tidak akan menyesalinya. Mulai saat ini kita akan bergerak secara berpencar, sebisa mungkin kau memanfaatkan waktu emas bersama suamimu. Dan ... Jangan lupakan tujuan utama kita, pembebasan." sejujurnya lidahnya terasa geli tatkala menekankan kata yang bermakna pendamping hidup tersebut.

Alih-alih kelihatan acuh, Mai justru tersenyum perih ketika dua pasang manik itu bertemu. Ia sedikit gugup untuk kembali mengatakan hal tabu yang amat dibenci (Y/n).

"Mereka itu orang yang berwajah tampan serta memiliki hati yang lembut, aku tidak pernah salah ketika menganalisis orang-orang yang mencolok. Kupikir kau harus menutup mata dan telinga akan masa lalu-dan mencoba menerima dan melangkah lurus menuju masa depan."

Wajah penuh emosi terpampang sudah dihadapannya, (Y/n) membalas ucapannya dengan penuh emosi. "Jangan membuatku mengulangi perkataan yang sama, Mai! Kau sudah melewati batas kehidupan pribadiku-"

Dengan cepat pula Mai menukas, "Aku bersumpah akan memberikan keluargamu kebebasan, asalkan kau kembali menjadi Hayashi (Y/n) yang dulu. Hayashi (Y/n) yang hangat meskipun julukan pembunuh berdarah dingin masih melekat setelahnya.

... Aku berwenang dalam misi pembebasan ini karena ... aku adalah kepala klan yang selanjutnya, Tsubaki Mai."

◆◇◆◇◆◇◆◇


"Aku mencari mu selama beberapa hari ini. Dan tidak ku sangka kita akan bertemu di tempat ini, disaat aku ingin buang air kecil pula. Benar-benar lucu."

Kedua netra Giyuu memicing, dia bergerak menjauhi Sabito yang terkekeh sembari membuang hajat kecil disebelahnya tanpa tahu malu.

"Selain otak, ternyata zakar milikmu juga kecil, pantas saja." Cibirnya pelan. Sementara Sabito yang mendengar, memekik tidak terima. "Kau menghina anggota tubuh kebanggaanku! Milikku ini memiliki ukuran yang normal!"

Dahinya berkerut samar, niat hati ingin menenangkan pikiran dengan menatap air sungai yang mengalir. Namun malah kacau dikarenakan kehadiran tamu yang tak diundang. Giyuu menghela napas letih. Tiada hari tanpa pengusik, pikirnya.

Tidak cukup dengan gusuran paksa yang dilakukan oleh sang Pilar Angin, Shinazugawa Sanemi beberapa saat yang lalu. Kini bertambah pula sosok menyebalkan, Sabito. Mungkin Giyuu telah berpindah tempat sebanyak empat kali.

"Hei, kudengar tidak ada pelantikan kursi kesepuluh. Apakah dua kandidat itu tidak memenuhi syarat untuk menduduki posisi tersebut?" Tanya Sabito, dia mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Giyuu, matanya menatap sang sahabat penuh harap, barangkali penjelasan dari pria kaku ini memuaskan rasa penasarannya.

"Aku tidak pernah merasa sekesal ini sebelumnya. Mereka berdua kalah. Dan Uzui Tengen adalah pemenangnya." Jelas Giyuu, agak keki ketika harus menceritakan hal ini. Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa menjadi seperti ini. Cemburu huh? Lucu sekali.

Sabito tidak mengerti mengapa Sang pilar suara harus terlibat disini. Wajah dengan raut penasarannya semakin bertambah jelek dimata Giyuu, "Tunggu, mengapa Uzui-san?"

Tiba-tiba saja Giyuu berdiri. "Tradisi wajib, kau tahu? Lagipula dua pendekar elok itu sudah tidak lajang lagi." Mata birunya mendelik, "Jika kau masih bertanya siapa orang itu, ya. Mereka adalah (Y/n) dan Mai. Dua kandidat terbodoh yang pernah ku temui."

Sabito terdiam layaknya kambing dungu, mungkin merasakan patah hati juga setelah menaruh hati kepada salah satu dari mereka. Ia merasa Dewa memberikan takdir kepadanya untuk menjadi bujang lapuk hingga akhir hayatnya bersama Giyuu. Menua bersama ... ew, apa-apa memikirkan menjijikan itu!

"Sakit." Celotehnya selagi meraba dadanya dengan ekspresi yang memprihatinkan. Giyuu tak ambil pusing. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi.

"Tapi bukan hal itu yang ku permasalahkan." Sepasang mata birunya memindai keadaan sebelum melanjutkan, "Mereka seperti sedang tertangkap basah melakukan suatu kesalahan. Dan Uzui-san menekan mereka agar berada dalam jangkauannya. Bagaimanapun juga, mereka telah mencuri perhatian dengan sangat ketara. Aku meragukan mereka."

"Oh, ya. Mereka telah mencuri hatiku." Jangan salahkan Giyuu tentang sebuah batu berukuran sedang melayang tepat kearah Sabito. Sangat cheesy mendengarkan kalimat itu meluncur mulus dari mulut Sabito.

"Kau mau membunuhku?!"

"Kau tidak akan terbunuh hanya dengan seonggok batu."

Setelahnya mereka terlibat perkelahian kecil yang berlangsung cukup lama sebelum keduanya menjadi terdiam ketika cairan berwarna merah darah menetes tepat di wajah keduanya.

"Be-berisik!"

Sabito dan Giyuu sontak mendongak. Hampir secara bersamaan membulatkan mata ketika melihat sang pemilik suara yang duduk di dahan pohon tepat di atas keduanya berdebat. Dengan pergelangan tangan yang terluka sayatan cukup dalam.

Hayashi (Y/n), perempuan itu terlihat sangat kacau. Seperti terlibat dalam pertempuran sebelumnya. Wajahnya pucat pasi dengan mata yang menyipit ketika melihat sepasang sahabat tersebut.

"Lelaki penggosip."

Oh, sialan. Tomioka Giyuu dan bibirnya yang lemas. []

𝐓𝐡𝐚𝐭 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang