Chapter 8

1K 91 0
                                    

═════════════════
𝐀 𝐥𝐢𝐭𝐭𝐥𝐞 𝐛𝐢𝐭 𝐜𝐨𝐧𝐟𝐮𝐬𝐞𝐝
═════════════════

(Y/n) tidak tahu sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Yang jelas, ketika ia mencoba untuk beranjak dari posisinya yang saat ini tengah berbaring, ia merasa tubuhnya sangat kaku, bahkan hanya untuk sekedar menggerakan jemari saja ia tak mampu. Ketika mencoba untuk berbicara pun lidahnya terasa kelu. Tenggorokannya juga terasa kering.

Saat ini (Y/n) memang berada di ruangan asing meskipun ia tahu bahwasanya ia berada ditangan orang yang baik. Ruang rawat inap. Mutsume tidak sebaik ini untuk memungutnya setelah kesalahan yang telah (Y/n) perbuat. Luka yang diterima olehnya adalah kehendak Mutsume sendiri, ia sangat tahu itu. Lalu ... siapa? Kepala (Y/n) masih dilanda rasa pusing yang begitu kuat ketika mencoba menerka-nerka.

Matanya memindai sekeliling ruangan. Dalam posisi tidur seperti ini dia tidak mampu untuk melihat beberapa objek yang sensitif. Instingnya pun menumpul untuk mengantisipasi keberadaan seseorang yang mungkin saja membawa mala petaka baginya.

"Antara raja dan bidak manakah yang lebih kuat?"

Suara halus itu-tidak salah lagi. (Y/n) terjebak didalam sangkar musuh. Bulir-bulir peluh mulai tercipta di pelipisnya ketika derap langkah kaki bersamaan dengan suara tongkat kayu mendekatinya. (Y/n) tidak bisa mengendalikan bola matanya yang menjadi liar melihat objek. Saat ini, dengan kondisi tubuhnya yang riskan, ia benar-benar tidak mampu untuk menutupi kekalutannya. Meskipun pria itu buta dan tidak akan bisa melihat bahasa tubuh serta mimik wajahnya. Ia tahu bahwa instingnya akan menajam.

Ubuyashiki Kagaya.

"Ah, maafkan ketidaksopanan ku. Tidak seharusnya aku mengajukan pertanyaan ketika lawan bicara sedang dalam pengaruh obat bius." Terdapat jeda dalam perkataannya, "Hayashi (Y/n), bukankah pembunuhan itu termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia? Meski kau melakukannya untuk melepaskan belenggu takdir keluargamu, tidak seharusnya kau menjadikan nyawa seseorang sebagai syarat pembebasan yang hakiki. Rasa penyesalan itu ada, sedalam apapun genangan dosa yang telah kau ciptakan diatas teriakan belas kasih, kau tetap akan merasa bersalah." Pria bersurai hitam pendek itu mendudukkan diri di ranjang yang berada tepat disebelah (Y/n).

Perempuan itu memandang sang pria dengan pupil mata yang bergetar. Dia tahu bahwa misinya akan menjadi sulit apabila mengikuti kata hatinya. Ia telah memasangkan tembok dihatinya dan berusaha menjaganya agar tetap kokoh dan tidak goyah. Tetapi ketika realisasi yang termanifestasi dari lisan Kagaya mengetuknya, keyakinan (Y/n) langsung roboh. Pria itu benar, ia masih merasa bersalah atas noda yang selalu mengotori tangannya. Tidak, (Y/n) selalu merasa bersalah. Bahkan ia sendiri kurang baik dalam memahami sisi terdalam dari dirinya sendiri.

"Ketika kau mencoba melepaskan rasa sakit dengan menyerang dari dalam, maka kau adalah orang yang ceroboh. Tidak perlu melakukan hal seperti itu. Berpura-pura selama belasan tahun dengan keadaan jiwa yang terguncang tidak akan membuat pikiran menjadi rasional. Sudah cukup untuk pengabdian palsu yang tidak berarti. Disini bekerja samalah denganku. Kau tidak perlu takut atas tekanan yang datang dari luar, karena kami disini ada untuk menguatkanmu." Dia menggigit bibir bawahnya yang bergetar ketika tangan pria itu terjulur kearahnya.

"Aku tidak akan menuntut keadilan karena Tsubaki telah menargetkan harga dari kepalaku dengan kau yang sekarang berada dihadapanku. Dalangnya, aku telah mengetahui dalang dibalik semua ini. Tsubaki telah bekerjasama dengan para iblis termasuk Kibutsuji Muzan-"

Perkataan Kagaya diinterupsi oleh suara ketukan yang berasal dari pintu. Netra (Y/n) bergulir untuk melihat, mendapati seorang gadis dengan seragam pemburu yang mengenakan haori kupu-kupu. Dia membawa sebuah kotak kayu berukuran sedang bersamanya. "Permisi, Oyakata-Sama. Saya rasa sudah saatnya menghilangkan pengaruh obat Hayashi-san."

Perempuan Hayashi itu tahu, kisah ini akan berlanjut sampai mereka merasa puas dengan hasilnya.

◆◇◆◇◆◇◆◇

Tomioka Giyuu seharusnya sadar dengan gelagat Uzui Tengen yang mau mengajaknya dengan sukarela kedalam tim penyidiknya. Cukup aneh, meskipun pria berambut putih itu tidak sensitif dengan keberadaan Giyuu-seperti sang pilar Angin; Sanemi.

Sejauh ini Uzui Tengen memperlakukannya cukup normal. Berbicara, bertukar pendapat, sesekali mengajaknya berkumpul bersama Pilar lainnya. Tidak ada yang janggal dari seluruh tingkah lakunya-sejauh ini.

Tetapi, ketika mereka membentuk markas secara mendadak di balik batuan besar yang berada di dekat hutan Ame. Giyuu tertampar oleh banyak kebenaran sekaligus. Ugh, pertama, Uzui sudah menikah. Dan dia memiliki tiga Istri yang sangat akur dan rukun. Iya, tiga. Padahal jarak umur antara Giyuu dan Tengen hanya terpaut 2 tahun saja. Betapa beruntungnya... Jujur saja Giyuu sedikit iri. Sialan kau Sabito, berkat mulutmu sampai sekarang aku masih memikirkan julukan sialan itu!

Oke. Kedua, istri-istri Tengen merupakan shinobi yang membantu sang suami mengumpulkan informasi mengenai misi yang diemban olehnya. Masih berkaitan dengan klan Tsubaki, mereka rela menyelinap masuk kedalam sangkarnya. Nyali ketiga wanita itu memang patut diacungi jempol.

Ketiga, informasi yang didapatkan sangat memuaskan dan terperinci. Mulai dari beberapa tersangka yang didapatkan latar belakang kehidupannya, keterlibatan Muzan, hingga soal visi misi yang tidak bermoral di dalam organisasi tersebut.

Giyuu pernah mendengar tentang pembunuh bayaran sebelumnya, meski sangat jarang sekali ia temukan kebenarannya. Turun tangan untuk menghadapi keadaan semacam ini tentu saja membuat perutnya terasa mual. Terlebih beberapa orang yang ia kenali terlibat didalamnya.

"Oh, Tomioka. Gadismu sungguh malang, dia adalah korban tuntutan tradisi kolot klan. Bagaimana kau akan menyikapi semua ini? Pekerjaan, atau asmara?" Tengen berbicara sembari menunjukan lukisan pada Giyuu. Lelaki berambut hitam itu menyerngit.

"Gadisku?" Ia bergumam keki, "Siapa yang kau maksud?" Giyuu tidak tahu saja Tengen sedang menjahilinya.

"Kau selalu memperhatikannya, tetapi tidak dapat mengenali wajah yang terdapat di lukisan ini?! Tentu saja Hayashi (y/n)!" Seru Tengen. Dia tertawa pelan melihat wajah datar Giyuu yang sedikit merona, dasar perjaka jaim.

"Aku mengerti maksudmu, tetapi aku akan tetap pada pendirian untuk bersikap profesional." Simpul Giyuu.

Mata Tengen berkilat ragu, "Sekalipun Oyakata-sama menaruhkan eksekusi mati sebagai hukuman setimpal pada (Y/n)? Kau yakin?"

Apa?

"Dia korban disini." Giyuu mencoba mengingatkan Tengen kembali. Selembar kertas ia angkat di depan dada, menunjukan kata demi kata tentang kebenaran. "Dan tersangka kalau kau lupa." Timpal Tengen.

Giyuu menggeleng pelan. "Sejauh ini perbuatannya tidak mencelakai Oyakata-sama. Mungkin saja beliau memiliki pikiran yang sama sepertiku, tentang keuntungan membuat (Y/n) berada di pihak kita untuk membuat Kibutsuji munculkan diri-"

"-Tsubaki Mutsume mengajukan bunga Laba-laba biru sebagai syarat kerja sama. Ini isu yang sudah lama. Tetapi aku sangat yakin adanya ikatan mutualisme yang memberatkan satu sisi untuk memutuskan tali kerja sama." Tukas Tengen. "Tsubaki mendapatkan uang dari Muzan, lalu Pria itu mendapatkan bunga tersebut."

Kedua mata Giyuu melebar, "Syarat agar mampu bertahan di bawah terik sinar matahari-apakah Muzan mendapatkannya?!" Sialan, ini misi yang sangat berat, pikirnya.

"Tsubaki itu licik. Tentu saja dia tidak memberikannya."

Suara teriakan Hinatsuru membuat kedua lelaki disana mematung sesaat. adalah orang pertama yang langsung memastikan keadaan dia keluar dari markas dengan tergesa-gesa, tanpa membawa pedang nichirin miliknya.

Munculnya aura yang menyesakkan pernapasannya membuat Giyuu yakin, bahwa mereka di kepung. Tingkat atas? Entahlah, Giyuu tidak dapat menerka saat ini. Instingnya mengatakan ia harus bertarung. Tangannya refleks meraih pedang milik Tengen. Tatkala teriakan Tengen terdengar, Giyuu mengeratkan pegangannya pada gagang nichirin. Ah, dia berani menampakkan diri lagi setelah kabur dalam pertarungan, dan kemunculannya di waktu yang tidak tepat.

"Tiga atas sialan."

Pertarungan lama terulang kembali[]

𝐓𝐡𝐚𝐭 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang