Chapter 1

6K 408 23
                                    

Bentuk kemampuan tertinggi seorang ahli berpedang adalah mampu menahan rasa sakit yang menghinggap sebagai perwujudan pribadi tangguh yang sesungguhnya.

Prinsip tersebut membuat Tomioka Giyuu terbiasa sanggup menahan berbagai macam rasa sakit yang mendera tubuh. Sekalipun sosoknya mampu menyembunyikan kejujuran dibalik wajahnya yang datar, hati kerap kenjeritkan lara manakala sensasi akibat luka yang tidak wajar tingkat keparahannya itu merabak nyaris kesetiap sudut tubuhnya tanpa terkecuali.

Nyatanya, mampu menahan tidak membuat Giyuu terbiasa.

Haori berwarna marun yang dikenakan tampak jauh dari kata 'Layak' untuk dikenakan. Sobekan serta noda lumpur yang mengering pula melengkapi pertanda garmen tersebut sudah sangat layak untuk di buang. Keadaan seolah menegaskan bahwa Tomioka Giyuu sangat amat kacau.

Terlebih lagi, ditengah kacaunya kondisi tubuh. Giyuu masih harus membopoh sang sahabat yang menerima luka lebih parah dari dirinya. Sabito—pria muda bersurai merah muda itu terkena racun telak dari serangan iblis rembulan yang mereka lawan sebelumnya.

Kendati Giyuu telah memberikan antidot yang diracik oleh pilar serangga untuk berjaga jikalau menghadapi musuh yang riskan, proses penetrasi cairan tersebut berjalan cukup lama untuk menggapai secara keseluruhan racun yang mulai menyebar—dan menyebabkan lumpuhnya setengah dari tubuh Sabito dengan munculnya beberapa guratan saraf keunguan tegas. Sekalipun Giyuu telah mengulurkan tangannya kepada Sabito, rasa takut untuk kehilangan tidak dapat ia tampik eksistensinya

Erangan kesakitan pria itu kembali membuat Giyuu resah, ia benar-benar tidak tega melihat Sabito yang cerewet menjadi menyedihkan seperti ini.

"Rumah Wisteria masih sangat jauh dari sini." Sabito berujar memberi tahu. Giyuu mengangguk seraya menghela napas. Seperti yang pria itu ucapkan, mereka berada di lokasi yang sangat jauh dari pemukiman warga sekitar. Pun dengan jalan yang ditapak merupakan lintasan kecil pembatas sawah yang membentang luas.

Tidak jauh di depan sana, terdapat hutan dengan pepohonan yang menjulang tinggi sekali. Keadaannya gelap gulita, rembulan pun enggan menyoroti wilayah tersebut kendatipun saat ini sosoknya bersinar cukup terang. Secercah harapan Giyuu yang sempat bercokol dalam benak agaknya memudar sedikit demi sedikit karenanya. Perihal kemunculan iblis yang tidak mampu di terka kapan kehadirannya di dalam gulitanya malam—Giyuu tidak menginginkan adanya serangan yang berada di titik buta. Andaikata akan terjadi pertarungan hidup dan mati, maka akan sulit bertarung selagi melindungi Sabito.

"Tenang saja, kita akan langsung ke rumah rawat Kochou, tidak perlu singgah." kedua matanya menatap lamat-lamat hutan yang jaraknya semakin dekat setiap kali Giyuu melangkahkan kakiknya, "Kita akan melintasi dua hutan lagi—seharusnya, setelah itu kita akan sampai." lanjutnya, mencoba menanamkan pola pikir optimis sebisa mungkin.

Punggung lembab yang ia pegang bergetar ringan, disaat-saat genting seperti ini, Sabito masih sempat tergelak. Kening Giyuu mengernyit, terlebih ketika mulut pria itu berkata, "Sebaiknya aku menyusul Makomo dengan segera. Aku hanya menjadi beban untukmu dengan kondisiku yang sekarang ini, Mizu no Hashira." Sabito meledeknya diakhir kalimat hingga membuat raut muka pria bersurai hitam disebelahnya menjadi mengeras.

"Tutup mulutmu. Kematian bukanlah alternatif jika kau merasa letih karena keadaan. Berhenti bersikap pesimis, bodoh." Giyuu mendesis sebal.

Sekalipun usia keduanya sepantaran, Giyuu telah meraih posisi tertingginya sebagai seorang Pilar. Sedangkan Sabito sendiri—untuk saat ini masih berpangkat Kinoe. Giyuu tidak mengetahui apakah Sabito sengaja mengalah atau memang benar-benar kalah. Mengingat kepribadian Pria itu yang kian melunak semenjak kepergian Makomo yang saat itu masih kecil. Ya, cinta monyetnya Sabito. Mungkin akan lebih afdal lagi jika Giyuu menyimpulkannya dengan sebutan cinta pertamanya Sabito.

𝐓𝐡𝐚𝐭 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang