recognition

106 17 14
                                    






Siang itu selesailah perkelahian antara bandit dengan orang-orang kerajaan. Kawanan bandit dikalahkan, dan dalang dari penyerangan telah ditangkap. Terry bertarung layaknya monster, pakaiannya penuh dengan lumuran darah. Dia mendapatkan bagian menyerang paling banyak daripada biasanya, sampai-sampai Ryu tidak bisa melaksanakan tugasnya untuk melindungi Terry. Dia hanya bisa menjaga Giyu dari banyak sisi, untungnya Raja dan Ratu tetap aman didalam kereta kuda. Dalang dari penyerangan ini adalah Seon, ketua dari semua bandit.

"August! Keluar kau keparat!"

Belum sempat Seon berteriak lagi, mulutnya sudah dimasuki oleh sebuah pedang yang tak lain adalah Terry. Pinggiran bibir Seon robek hingga ia harus menahan pedang itu menggunakan giginya.

"Bicara sekali lagi, aku akan menembus tenggorokanmu"

Oru mencoba mendekati mereka berdua. Dengan sigap Terry mengayunkan pedangnya hingga robeklah seluruh pipi kiri Seon, dan itu juga melukai mata kanan Oru. Seon tergeletak dengan penuh kesakitan yang amat luar biasa di wajahnya. Oru pun juga terduduk sembari terus memegang mata kanan yang sudah rusak, dia menjadi buta sebelah.

"Terry sudah"

Perkataan Giyu tidak digubris sama sekali. Terry memasukan pedang kedalam selongsongannya. Dia mendatangi Oru dan langsung memukulnya tanpa henti, Oru akan mati jika Terry tidak dihentikan.

"Yang mulia tidak berbicara apapun"

Ucap Terry yang masih memukuli Oru, semua bandit yang melihatnya hanya diam ketakutan. Rambut merah darahnya itu akan membuat semua orang merinding dan mata kosongnya membuat semua orang ragu untuk menatapnya lebih lama. Giyu pasrah, dia tidak bisa menghentikan Terry dan hanya bisa berharap dia tidak membunuh Oru kali ini.

"Terry De August! Berhenti dan naik ke keretamu!"

"Baik Yang mulia ratu"

Suara itu membuat tubuh Terry berhenti, layaknya robot dia kembali berdiri dan masuk ke dalam kereta kudanya. Giyu menyeret Oru yang masih terkapar dan memasukannya kedalam kereta yang ia tumpangi bersama Terry. August memerintahkan kepada pelayannya agar Seon juga dibawa ke istana untuk diadili. Dia kembali menuang teh dan menikmati perjalanan pulangnya dengan tenang.

"Yang mulia, aku tidak mengerti mengapa anda bisa setenang ini"

"Putra kita bisa menanganinya bukan? Jadi kita tidak perlu-"

"Yang mulia! Saya kesal anda tidak menghentikan mereka"
Ucap Julia lebih keras.

"Aku tau, namun jika tadi aku keluar. Kita terlambat kembali ke istana"

Julia mengepalkan tangannya marah dan membuang mukanya dari hadapan August, sebagai tanda penghinaan karena sikapnya yang semena-mena. August kembali meneguk teh yang ia tuang tadi, hingga sekarang ia tidak bisa mengatakan hal-hal yang menyakitkan pada Julia. Tidak lagi, Ia tidak akan membiarkan kejadian menyakitkan yang terjadi pada Eugene kembali terulang. Dimana sebelum melahirkan, August dan Eugene berdebat tentang konflik rumah tangga dan karena itu Eugene meninggal. August tidak ingin lagi seseorang meninggalkannya sendiri dan tidak ingin Julia sendirian.



______________________________________




Suasana yang ricuh di kerajaan laut mulai mereda ketika Una datang. Penyihir itu berjalan cepat menuju kamar Lion. Semua orang tidak boleh masuk ke kamar. Una menggenggam tangan Lion yang tak sadarkan diri dan mencoba melihat sesuatu dari alam bawah sadarnya.

Sepi, kosong, sendirian. Itu yang dirasakan Una saat memasuki alam bawah Lion. Rasanya seakan Una melayang didalam ruangan hampa. Sekelebat cahaya melewati matanya, dan Una mencoba mengikuti arah cahaya itu pergi. Semakin lama semakin terang jika didekati. Una menyentuh cahaya itu dan semua kehampaan yang dia rasakan menghilang.

Kini dia berada di suatu tempat, yaitu rumah Lion. Melihat gadis itu berbicara dengan dua orang pria. Dia mendengar jika Lion memanggil salah satu pria dengan sebutan Papa, dan satunya lagi kakak.

"Kenapa Yang mulia Vincent dan Pangeran Jun ada disini?"

Una menyadari jika Lion berasal dari kehidupan masa depan. Melihat kondisi Lion sekarang pasti memiliki hubungan dengan kondisinya di masa depan. Yang Una lihat ini bukanlah kondisi sebenarnya, melainkan ingatan Lion di masa depan.

"Yang mulia!"

Vincent berlari masuk ke kamar setelah mendengar Una memanggilnya. Dia melihat Una masih memejamkan matanya sembari menggandeng tangan Lion.

"Bagaimana Una?!"

"Saya harus pergi dahulu mencari inti tubuh tuan Puteri. Jadi saya minta tolong jaga tubuh saya dengan baik Yang mulia untuk beberapa waktu. Setelah saya melepas tubuh saya, tuan Puteri akan siuman karena saya memberikan kekuatan saya."

"Baiklah, hati-hati Una"

Selesai berbicara dengan Vincent, tubuh Una terjatuh ke lantai. Pelayan membawa Una ke kamar lainnya. Vincent duduk di pinggir ranjang dan berfikir mengapa Puteri nya harus menderita seperti ini, sampai-sampai Una mempertaruhkan nyawanya sendiri. Kini ia terkejut melihat Lion menggerakkan kepalanya perlahan, Vincent memapah tubuh Lion hingga duduk.

"Papa!"

Lion membuka matanya dan memeluk Vincent erat. Barusan Vincent mendengar tuan Puteri memanggilnya dengan sebutan Papa.

"Nak, apa kamu baik-baik saja?"

"Iya"

Vincent mengangkat Puterinya dan keluar dari kamar. Menunjukkan kepada semua orang di istana jika Puterinya siuman. Rinn menghela nafasnya lega, begitu juga dengan Jun yang daritadi berjalan mondar-mandir didepan kamar. Justin datang membawa pelayan yang akan diadili ke depan kakaknya yang masih menggendong Lion.

"Semua keputusan diserahkan kepada Tuan Puteri"
Justin

"Eh saya?"
Lion

"Tentukan, apakah pelayan ini perlu di eksekusi atau tidak"
Vincent

"Apa yang pelayan ini lakukan? Sepertinya dia tidak memiliki kesalahan apapun untuk diadili. Jika ini perihal insiden saya tadi, seorang pelayan tidak mungkin melakukan pembunuhan berencana kepada tamu dari kerajaan lain. Hal itu dapat menimbulkan konflik dari kedua belah pihak. Yang mulia, tidak mungkin pelayan ini meracuni saya kan??"

Semua orang tertegun dengan perkataan Lion. Vincent menggelengkan kepalanya tanda si pelayan dilepaskan dari eksekusi, dan kembali membawa Lion ke kamar diikuti Rinn serta Jun puteranya.

"Yang mulia saya minta maaf tadi memanggil anda dengan sebutan Papa"
Lion

"Panggil aku lagi dengan sebutan itu"
Vincent

"Saya tidak mungkin menyebut anda dengan-"
Lion

"Tidak apa-apa Lion, itu tanda Vincent menyukainya"
Rinn

"Memangnya anda tau apa artinya sebutan Papa?"
Lion

"Memang sebutan apa itu?"
Ucap Vincent mendudukkan Lion di ranjang.

"Yang mulia sangat kuno, itu sama saja dengan sebutan ayah"
Jun

Perkataan Jun tadi mendapatkan lirikan tajam dari kedua orangtuanya.
Lion tertawa kecil, dimata Vincent itu sangat menggemaskan sampai-sampai dia menahan diri untuk tidak memeluk Puteri nya.

"Maka dari itu saya tidak bisa menyebut anda dengan sebutan papa, walaupun anda mirip dengan papa saya. Begitu juga pangeran Jun, dia mirip dengan kakak saya"
Lion

"Tapi kamu Puteriku Lion, aku ingin kamu memanggilku papa"
Vincent

Prince Request!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang