Story of Han

65 4 0
                                    

Namaku Han. Lengkapnya Handoko. Tapi tolong panggil Han saja biar terdengar lebih keren. Aku meninggal gara-gara keteledoranku sendiri. Tersedak permen karet yang sedang kukunyah. Jadilah aku hantu gentayangan begini.

Meskipun aku menyukai sesuatu yang berwarna pink, namun seperti hantu lelaki lainnya, aku masih mencintai hantu wanita. Bisa dibilang, aku adalah seorang lelaki macho (tolong c-nya jangan dihilangkan). Banyak hantu-hantu wanita di makam desa ini yang rela mati sekali lagi untukku. Contohnya aja si Mai—lengkapnya Maimunah-- pocong cewek yang doyan banget nangkring di jamban.

“Mai, mau gak jadi pacar A’a?” tanyaku saat kami tengah duduk di pinggir kali sambil menikmati pemandangan orang yang sedang buang hajat.

“WHAT?! HELLOOOW? Mending gue mati daripada jadi pacar elu!” teriaknya sambil lompat ke sungai. Aku menatap kaget ke arah Mai yang terseret arus sungai. Sesekali kunciran pocongnya timbul tenggelam di antara riak air, lalu hilang. Selama seminggu aku meratapi kepergian Mai. Jika aku tahu dia begitu mencintaiku sampai rela lompat ke sungai dan hanyut, tentu aku tidak akan menyatakan cintaku.

Setelah move on, aku kembali mendekati Za—Ijah sebenernya, Cuma takut di gaplok kalo nekat manggil ijah—sosok kuntilanak cantik yang sederhana. Hanya menggenakan daster putih. Dia juga tidak terlalu sering bermake up. Dia sangat cantik dengan make up natural, muka hancur bersimbah darah. Jika dia jadi istriku, tentu akan hemat biaya karena tak perlu uang untuk beli baju dan ke salon seperti kebanyakan hantu wanita lainnya.

“Dek, Abang mau ngomong sesuatu.” Za menatap wajahku, lalu mengeluarkan cekikikan khasnya.

“Ngomong aja, gue dengerin kok.”

“Abang kayanya naksir sama adek, nih. Kita nikah yuk?” rayuku. Seketika Za langsung muntah.

“HEH! NGACA LU! GUA CANTIK, ELU JELEK! MANA GUE MAU! MENDING MATI!” Seketika Za langsung terbang ke atas pohon. Aku kembali terhenyak mendengar kata-kata Za. Dia benar-benar sangat mencintaiku sampai rela mati untukku. Aku segera pergi meninggalkan pohon tempat Za. Tak mau lagi mengusiknya. Aku tak ingin Za mati karena cintaku.

Sebenarnya, penuturan Za itu membuatku sedikit shock. Apa aku ini setampan Cassanova sehingga gadis-gadis rela mati untukku? Apa salahku? Dosakah jika aku mempunyai wajah tampan?

Akhirnya, setelah menenangkan diri selama beberapa saat, aku kembali bertemu seorang hantu wanita yang cantik. Insting priaku langsung bekerja. Dengan segera, aku mendekati gadis itu.

“Hai, Eneng. Sendirian aja?” godaku. Gadis itu tersenyum, memamerkan deretan giginya yang runcing (Itu gigi atau paku?).

“Iya, bang,” jawabnya kalem. Aku langsung menahan nafasku. Sungguh, wajahnya membuatku serasa di surga, dan nafasnya serasa membuatku di neraka. Nih cewek abis makan apa sih? Bangkai fir’aun ya? Namun, demi keberlangsungan kromosom Y dan X milikku, aku berusaha ikhlas. Ikhlas menghirup aroma nafas naganya.

“Namanya siapa atuh?”

“Umi, Bang.” jawabnya.

“Namanya bagus, Neng. Pasti panjangnya Umi Kalsum ya?” tebakku ngasal. Umi menggeleng.

“Lengkapnya Sumiatun, Bang.” Aku langsung diam.

“Eh, Neng matinya kenapa?” tanyaku basa-basi.

“Gara-gara permen karet, bang,” Aku mengerenyitkan dahiku bingung.

“Kok bisa neng? Ketelan ya?” tebakku. Dalam hati aku girang karena ada juga hantu yang mati karena tersedak permen karet sepertiku. Umi menggelengkan kepalanya.

“Keinjek, Bang. Pas mau bersihin sepatuku yang kena permen karet itu, malah aku jatuh ke kali. AKu hanyut dan kepalaku terantuk batu. Nih, lihat,” cerocosnya sambil menunjukkan kepalanya yang berlumuran darah. Aku membeku.

“Di-dimana kejadiannya?” tanyaku kaku.

“Di sungai yang di belakang desa, bang,” jawabnya lagi. Aku langsung teringat kejadian saat aku masih hidup. Aku gemar mengunyah permen karet membuang sisanya sembarangan.

Sore sebelum aku mati, aku membuang ampas permen karet itu di tepi sungai. Aku memang senang duduk sore-sore di pinggir sungai sambil menikmati pemandangan gadis desa yang mandi. Saat aku sudah beberapa langkah hendak pulang, aku mendengar suara benda nyebur dan teriakan wanita. Namun karena aku piker itu mungkin suara gadis-gadis yang mandi, aku terus melangkahkan kakiku. Tak lama kemudian, aku tersedak oleh permen karet yang sedang aku kunyah. Dan aku mati seketika.

Aku menatap Umi dengan perasaan bersalah.

“Ma-maaf … Abang ada urusan mendadak, kayanya abang di panggil sama Yang Maha Esa nih,” pamitku sambil bersiap-siap untuk pergi. Umi menatapku bingung.

“Loh, bang?” tanyanya. Aku langsung bergegas pergi, meninggalkan Umi yang cantik jelita.

Sial! Giliran nemu cewek cakep, malah dia matinya gara-gara gue! Nasib, nasib.

End

Horror StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang